Belum semua putusan hakim memberikan perlindungan hukum kepada para pencari keadilan atau para pihak yang terkait dengan putusan. Pasalnya, putusan hakim tersebut belum sepenuhnya memenuhi salah satu atau lebih kriteria yang telah ditentukan.
Sebagai awam di bidang hukum saya terkejut ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis kepada mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Terkejut karena keputusannya tergolong sangat ringan.
Eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi divonis 6 tahun penjara. Vonis ini setengah dari tuntutan jaksa KPK yakni 12 tahun untuk Nurhadi. Siapa saja menilai keputusan itu seakan berpihak pada terdakwa, dan amat melukai rasa keadilan masyarakat.
Lebih terkejut lagi ketika mendengar alasan hakim memberikan vonis lima puluh persen lebih ringan karena yang bersangkutan dinilai sudah berjasa untuk Mahkamah Agung.
Kita pun pantas heran dengan sikap hakim yang malah menyebut jasa – jasa Nurhadi untuk Mahkamah Agung. Kira – kira apa jasa Nurhadi ? Bagaimana mungkin seorang pelaku korupsi dikatakan berjasa untuk kemajuan Mahkamah Agung? Bukankah kejahatan yang ia lakukan justru mencoreng wajah Mahkamah Agung?
Nurhadi melakukan kejahatannya saat menjabat sebagi pejabat tinggi lembaga kekuasaan kehakiman. Tentu suap-menyuap yang ia lakukan dengan sendirinya meruntuhkan wibawa Mahkamah Agung.
Karena tindakannya itu, yang kini sudah terbukti dengan vonis hakim, membuat masyarakat kurang percaya pada institusi peradilan. Bahkan tindakan yang bersangkutan mengatur proses hukum bagi orang berperkara di pengadilan membunuh rasa keadilan di masyarakat.
Dari segi profesionalisme, tindakan hakim tersebut memang tidak salah namun tetap saja menyimpang dari harapan pencari keadilan agar hakim mewujudkan peradilan yang berkualitas dengan putusan yang eksekutabel berisikan syarat integritas, pertimbangan yuridis pertama dan utama, filosofis, dan diterima secara akal sehat.
Semestinya, dengan kejahatan yang dilakukan oleh Nurhadi, diantaranya menjadikan perkara hukum sebagai bancakan korupsi, ia sangat layak untuk divonis penjara seumur hidup, denda 1 miliar rupiah, dan seluruh aset hasil kejahatan yang ia kuasai dirampas untuk negara.
Apalagi Nurhadi tidak kooperatif saat menjalani proses hukum. Hal itu terbukti tatkala ia melarikan diri dan terlibat dalam insiden pemukulan pegawai rumah tahanan KPK.
Selama proses persidangan Nurhadi tidak mengakui praktik korupsi yang ia lakukan. Padahal fakta persidangan menunjukkan sebaliknya, ia diduga menerima miliaran rupiah dari pihak yang berperkara.
Namun nyatanya Nurhadi hanya dihukum enam tahun, vonis yang akan membuat para mafia peradilan tidak akan pernah jera dan tetap akan melakukan praktik korupsi.
Semestinya rasa keadilan ini diwujudkan hakim secara proporsional dalam putusan yang berisikan asas kepastian hukum, kemanfaatan dan mengandung nilai-nilai keadilan. Hakim dituntut menemukan hukum bahkan bila perlu menciptakan hukum untuk memenuhi kebutuhan atau rasa keadilan masyarakat.
Sekarang kita tinggal berharap KPK segara mengajukan banding agar putusan tingkat pertama segera dianulir. Semoga. !
Penulis : Noviardi Ferzi (Pemerhati Hukum)
Discussion about this post