Akhir-akhir ini, selama seminggu, suasana kisruh dimulai dari aksi Supir angkutan batubara yang demonstrasi ke Kantor Gubernur Provinsi Jambi. Para supir menolak penutupan jalan angkutan batubara oleh Gubernur Jambi.
Sebagai aksi demonstrasi, sah-sah saja menyampaikan aspirasi. Dan tentu saja bagian dari negara demokrasi.
Namun yang membuat saya kagum adalah Al Haris sebagai Gubernur Jambi langsung menerima peserta aksi demonstrasi. Gubernur Jambi bersedia menerima dan tegas menyampaikan sikapnya.
Teringat satu tahun yang lalu. Ketika itu Al haris sebagai Gubernur Jambi menerima forum Ketua RT Se-Kotamadya Jambi. Dengan tekun, Al Haris menerima keluhan dari para Ketua RT.
Diantaranya, mobil angkutan batubara yang sering memakan bahu jalan, sering parkir berdempetan hingga kesulitan umat Islam yang hendak Sholat Subuh. Belum lagi keluhan dari pedagang yang didepan tokonya kemudian banyak sekali parkir kendaraan angkutan batubara.
Kegeraman para ketua RT kemudian disimak dengan tekun oleh Al Haris sebagai Gubernur Jambi.
Setelah mendengarkan paparan dari para ketua RT, secara bijaksana seluruh keluhan akan menjadi perhatian penuh dari Gubernur Jambi.
Bahkan dengan sepenuh hati, Al haris menyampaikan “Perhatian dari Ketua RT akan saya perjuangkan. Walaupun kemudian saya kemudian juga harus berhadapan dengan Supir angkutan batubara yang akan demo di kantor Gubernur Jambi”. Suasana kemudian sedikit reda.
Peristiwa itu kemudian terbukti. Sikap tegas Al Haris untuk menutup jalan dan tidak memberikan kesempatan kepada angkutan batubara beroperasional di jalan umum tidak bisa ditawar. Bahkan Al haris sama sekali tidak “tunduk” dengan tekanan. Resikopun diambilnya.
Termasuk menghadapi demonstrasi yang kemudian berakhir anarkis. Demonstrasi yang semula damai kemudian berakhir adanya pemecahan kaca-kaca kantor Gubernur Jambi.
Nah, apabila proses ini Sudah semestinya diselesaikan dengan pihak kepolisian. Proses ini akan terus berlanjut.
Di kesempatan yang lain, saya setelah sidang di Muara Bulian, berkesempatan ke Bangko. Rencananya lewat Tebo. Selain adanya urusan disana, sesekali juga ingin merasakan ke Bangko lewat Tebo.
Tentu saja “napak tilas” yang sudah lama tidak dirasakan mulai dirasakan. Perjalanan mulus. Praktis tiada hambatan.
Perjalanan dari Muara Bulian ke Tebo praktis hanya ditempuh 4 jam. Itupun karena harus mampir di Sungai Rengas untuk “ngopi”.
Setelah selesai di Tebo dan kemudian ke Bangko, Keesokan harinya setelah urusan di bangko Selesai, akhirnya kembali ke Jambi.
Praktis dari Bangko – Sarolangun cuma 1 jam, rehat, makan siang, dari Sarolangun kemudian dimulai dari pukul 17.00. Lewat Pauh pukul 17.20, tiba-tiba “seakan” tidak percaya. Tiba di Tembesi 18.40. Padahal Sarolangun – Tembesi, jalur yang dikenal jalur maut sekitar 103 km cuma satu jam 20 menit.
“Seakan-akan” mimpi”. Tiada percaya. Padahal kecepatan digeber paling-paling 70-80 km.
Menempuh Sarolangun – Tembesi yang paling menyita energi, waktu maupun fisik ternyata “praktis” sama sekali tiada hambatan. Tidak ada angkutan batubara sepanjang jalan. Baik dari Sarolangun, Mandiangin, Durian Luncuk, Kotobuayo yang selama ini dikenal sebagai jalur “maut” sama sekali dapat ditempuh dengna tenang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Sudah lama, jalur ini tidak bisa dinikmati dengan baik. Seingat saya sejak 2017-2018, jalur maut ini memang paling menyita energi.
Padahal dengan rute dan jalur tempuh rutin setiap minggu, pengaturan waktu, terjebak di jalanan merupakan bagian dari dinamika di perjalanan.
Namun dengan sikap Pak Gubernur Jambi yang tegas dan memperhatikan kepentingan umum, jalur yang semestinya tidak dilalui angkutan batubara harus diberikan dukungan. Sehingga pelayanan umum tidak terjebak dengan angkutan batubara.
Sekali lagi terima kasih, Pak Gub. Kami selalu berada di belakang sikap tegas Pak Gub.
Penulis: Musri Nauli, Advokat Tinggal di Jambi
Discussion about this post