SINARJAMBI.COM – Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyayangkan rendahnya realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) periode 2017-2019. Padahal dana tersebut menjadi salah satu komponen dana perimbangan, namun realisasinya selalu lebih rendah daripada anggarannya. Faktor birokrasi dan beban kerja, termasuk lamanya waktu penyelesaian pemenuhan syarat dan review, dinilai menjadi kendala internal bagi pemerintah daerah.
“Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan pembangunan nasional. Pada saat berbicara kesejahteraan pada tingkat daerah, maka seharusnya otonomi daerah juga diarahkan pada hal yang sama pada level daerah,” kata Anis melalui keterangan tertulisnya yang diterima Parlementaria, Senin (22/3/2021). Selain faktor internal, sering terlambatnya juknis dan munculnya DAK tambahan juga menjadi faktor kendala eksternal bagi pemda.
DAK, dinilai politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, belum memberi dampak signifikan bagi penambahan kapasitas keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi, maupun peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, terselenggaranya acara tersebut mampu memberi rekomendasi strategis untuk membantu kepala daerah mencapai kemandirian keuangan daerahnya.
Lebih lanjut Anis menjelaskan, sebagai salah satu tolak ukur, IPM menggunakan tiga dimensi pengukuran untuk menggambarkan kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat. Adapun pengukuran tersebut dilihat dari dimensi pengetahuan, kesehatan, dan standar hidup layak sebagai implikasi program pembangunan. “Dalam menilai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, IPM merujuk pada persoalan pengelolaan keuangan daerah,” jelasnya.
Sementara dalam konteks pengelola keuangan daerah, Anis memaparkan bahwa salah satunya adalah pengelolaan dana perimbangan, yang dimaknai sebagai sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN. Dana ini diberikan untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang diharapkan semakin baik.
Tujuan tersebut sejalan dengan makna yang tersurat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa sumber pendapatan terdiri atas pendapatan asli daerah, pendapatan transfer, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. “Dengan adanya otonomi daerah, seharusnya pemerintah daerah lebih mandiri dalam menjalankan pemerintahannya. Termasuk dalam pengelolaan keuangan daerahnya,” ungkap Anis.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI tersebut juga menegaskan bahwa semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan kemampuan daerah untuk membiayai pembangunannya, menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. “Dalam hal ini, kinerja keuangan yang positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan pembangunan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi pada daerah tersebut,” tuturnya.
Terakhir, faktor kemandirian keuangan daerah menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, dimana semakin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah dapat menunjukkan kontribusi yang besar masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah. “Kedua hal tersebut merupakan komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD),” pungkas legislator dapil DKI Jakarta I itu. (alw/sf)
Discussion about this post