Realisasi APBN tahun 2021 memiliki tantangan yang bersifat struktural. Dikatakan struktural karena menyangkut dua komponen utama anggaran yakni sisi pendapatan dan sisi belanja. Masalahnya ketika belanja melampaui pendapatan atau defisit, kemudian bagaimana menutupi defisit tersebut dengan pembiayaan.
Dari sisi penerimaan APBN 2021 mengalami penurunan sebagai akibat kontraksi ekonomi. Realisasi pajak juga mengalami kontraksi 19,7 persen.
Kontraksi penerimaan pajak ini sendiri disebabkan. Pertama, aktivitas ekonomi yang melemah. Kedua, pemerintah memberikan insentif perpajakan yang sangat luas. Beberapa insentif yang dimaksud adalah PPh Pasal 21 DTP, diskon angsuran PPh Pasal 25, dan potongan tarif PPh badan.
Sebagai perbandingan realisasi penerimaan pajak tahun 2020 hanya mencapai Rp1.070,0 triliun, atau 89,3 persen dari target yang senilai Rp1.198,8 triliun.
Angka ini akumulasi dari penerimaan pajak penghasilan (PPh), migas yang mencapai Rp33,2 triliun triliun atau 104,1 persen dari target. Sisanya, realisasi pajak nonmigas mencapai Rp1.036,8 triliun atau 88,8 persen dari target.
Selanjutnya, dari sisi belanja, dalam masa pandemi yang menjadi perhatian adalah bagaimana mengeksekusi anggaran, mengingat berlakunya berbagai pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19. Persoalan-persoalan administratif terkait dengan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) juga nyata dan serius.
Walau bagaimanapun belanja pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sentral. Terutama dalam mendorong laju perekonomian pada tahun 2021.
Sehingga, kebijakan fiskal masih didesain ekspansif. Defisit anggaran ditetapkan sebesar 5,7 persen dari PDB dan komponen belanja pemerintah dalam PDB diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 3-4 persen.
Di antara rencana belanja yang menonjol adalah Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih berlanjut pada tahun depan. Belanja Pegawai juga tumbuh sebesar 64 persen, mengakomodasi kebutuhan pemberian dana untuk gaji ke-13 dan THR. Selain itu, Belanja Barang juga naik 32 persen setelah sempat terpotong akibat realokasi anggaran pada tahun 2020.
Implementasi belanja pemerintah ini penting untuk menjaga berjalannya perekonomian nasional. Ketika konsumsi rumah tangga terkontraksi, belanja sosial yang sangat besar ternyata pengaruh terhadap ekspansi pertumbuhan sangat kecil.
Demi menutupi defisit APBN ini pemerintah berencana menerbitkan enam seri Surat Berharga Negara (SBN) ritel sebagai salah satu upaya pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 melalui utang.
Kebutuhan pembiayaan tahun ini yang masih cukup tinggi dijadikan alasan pemerintah untuk menambah hutang kembali, apalagi defisit APBN 2021 ditetapkan sebesar Rp 1.006,4 triliun atau 5,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga pemerintah akan memaksimalkan berbagai sumber pendanaan, pilihan paling mudah tentu dengan cara berhutang.
Pilihan sulit bagi pemerintah sebenarnya, karena defisit APBN 2021 tidak bisa dihindari akibat adanya pola pengeluaran untuk dana talangan dan stimulus ekonomi. Kasus yang dihadapi Indonesia saat ini dengan kebijakan stimulus ekonomi, defisit APBN adalah suatu keniscayaan.
Pada satu sisi pemerintah masih berkewajiban menutupi defisit APBN tahun-tahun sebelumnya yang berasal dari pembiayaan utang. Di sisi lain harus mengalokasikan kecukupan dana untuk memenuhi pengeluaran rutin APBN. Alhasil jangan sampai terjadi penambahan defisit yang sebagian besar untuk menutupi pembayaran pokok utang dan bunga.
Meski ke depan mendesak dipikirkan ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan guna menutupi defisit anggaran negara selain penerbitan utang, yaitu dengan menyisir dana lain seperti sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA), dana abadi, dan kerja sama dengan swasta mendanai investasi. Jangan sampai pembiayaan membuat hutang terus menjadi keniscayaan. Salam. !
Penulis : Dr Noviardi Ferzi, SE.MM
Pengamat Ekonomi
Discussion about this post