Jujur adalah mata uang yang berlaku di mana saja, begitu ungkapan yang sering didengar. Jujur merupakan sumber dari segala kebaikan dan basis utama dalam mewujudkan sebuah kesuksesan, disamping harus kerja keras, kerja ikhlas, kerja cerdas, dan usaha, dan tentu nasib baik.
Secara normatif, jujur merupakan sikap yang lurus hati, menyatakan yang sebenar-benarnya, ada kesesuaian antara niat dengan ucapan dan perbuatan memperlihatkan sesuatu apa-adanya. Tidak dibuat-buat. Tidak menambah dan mengurangi. Kejujuran sangat erat kaitannya dengan hati nurani. Kata hati nurani adalah sesuatu yang murni dan suci. Hati nurani selalu mengajak kita kepada kebaikan dan kejujuran. (A. Tabrani Rusyan).
Dirasakan, berkata jujur itu membawa ketenteraman jiwa, sedangkan berbohong menimbulkan kebimbangan. (HR Tirmidzi). Sikap tidak jujur membuat silaturrahmi antar manusia menjadi sia-sia, kehidupan menjadi sempit, yang dekat jadi jauh dan yang jauh semakin jauh. Tidak ada yang mau mendengar ucapan kita, orang menjadi tidak betah berada didekat kita, orang orang akan mencari jalan agar terhindar bertemu dengan kita.
Jujur harus dimulai dari pikiran. Pikiran itu merupakan hasil dari proses berpikir. Berpikir merupakan proses awal dari berkata, bertindak, berjanji, dsb. Apapun yang ingin disampaikan, dilakukan bisa dipastikan hasil dari proses berpikir. Kalau kita memulai jujur dalam berpikir, inshaallah, akan disusul dengan berkata dan bertindak jujur pula.
Tapi dalam kehidupan kita, sering ditemukan ketidakjujuran yang didasari alasan yang ‘sangat klasik’, hanya untuk menyenangkan pihak lain dengan niat tidak ingin mempermalukan orang lain, tidak ingin menyakiti perasaam pihak lain. Misalnya ‘walaupun penampilannya tidak menarik, tapi kita tetap berbohong dengan menyatakan penampilannya cantik. Walaupun makannya tidak enak, terpaksa harus memuji bahwa makanannya sangat enak, dll.
Ketika seseorang berkata tidak jujur untuk memanipulasi orang lain atau secara sengaja untuk menyesatkan orang lain. Ini secara tidak langsung telah ‘menjerumuskan’ orang tersebut kedalam kondisi ‘kepura puraan’ yang lambat laun akan terbuka dilain kesempatan, akan terkuak pada kesempatan lain.
Tentu, tidak jujur tentu memiliki tujuan sosial. Tidak jujur bisa membantu seseorang memberi gambaran yang lebih baik dari keadaan sebenarnya, atau tidak mempermalukan orang dihadapan orang lain. Minimal, pada pertemuan itu, untuk sementara ‘mukanya’ selamat. Akibatnya, ketidakjujuran hanya mengalihkan waktu atau menunda waktu ‘ketidaknyamanan’ di waktu yang lain.
Contoh paling dekat, ketika Kepala sekolah menanya guru, apakah sudah mengajar hari ini. Biasanya guru akan menjawab, ‘Sudah, Pak!. Jawaban itu adalah ungkapan kejujuran. Memang guru sudah mengajar. Akan tetapi, bisa jadi guru itu hanya masuk kelas, ceramah sebentar, kemudian memberi tugas. Apakah kegiatan ini masih ‘dinamakan’ mengajar?.
Memang terkesan jujur, guru itu sudah mengatakan yang sebenarnya, mengutarakan apa yng telah dilakukan.
Ya, memang benar guru itu telah masuk kelas, ‘ngobrol’ dengan siswa, tetapi tidak ada proses akademik yang bisa dikategorikan telah terjadi proses pembelajaran yang sebenarnya.
Kalau berkata jujur, Kepala sekolah pasti akan menegur, menilai kinerja guru karena tak mengajar yang sebenarnya. Tidak jujur diniatkan untuk melindungi diri guru dari penilaian kinerja dari kepala sekolah. Pilihan untuk tidak jujur merupakan jalan pintas yang lebih aman daripada harus ditegur, diperingatkan atau dinilai buruk oleh atasan.
Mengelabui dengan menyatakan hal-hal yang benar (jujur atau sesuai fakta) kadang kadang sudah menjadi kabiasaan di tengah masyarakat. Fenomena ini disebut dengan “paltering” (mempermainkan kebenaran). “Paltering” merupakan sebuah tindakan memanipulasi data serta informasi yang dilakukan secara sadar agar lawan bicara percaya dengan apa yang dikatakan (BBC).
“Paltering” identik dengan “berkelit” atau “berdalih”, mengatakan kebenaran yang tidak utuh dengan tujuan untuk mengaburkan fakta sesungguhnya (Mellisa Hogenboom, BBC) agar terhindar dari ‘hukuman’, hanya untuk ‘menyenangkan hati ‘lawan bicara’, agar terkesan jadi ‘orang baik dan hebat’.
Sebagai manusia biasa, kita memiliki banyak kesempatan untuk tidak jujur. Padahal, ‘proses’ ini akan lebih menguras mental dan energi dibanding berkata jujur. Otak dan perasaan bahkan jantung kita akan ‘berdetak’ lebih kencang tiap kali berbohong untuk ‘memanipulasi’ situasi kalau ketahuan, dan berpikir lagi untuk berbohong lagi untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Selain mempunyai akibat sosial, ternyata kebiasaan berbohong juga memengaruhi kondisi kesehatan. Kebiasaan berbohong juga bisa meningkatkan risiko gangguan kecemasan, depresi, serta risiko kanker dan bisa memicu hipertensi, strok, dan lebih parah lagi serangan jantung. (Dr Arthur Markman).
Ketidakjujuran berpotensi mengganggu kualitas hubungan interpersonal serta kepuasan kerja. Alhasil, pikiran dan tubuh semakin berada dalam kondisi tertekan dan stres sepanjang waktu. Dan yang pasti, akan muncul beban emosional dan fisik yang dialami oleh seorang pembohong dan biasanya sering kali harus diikuti dengan kebohongan berikutnya. (Loka Kata)
Memang, kejujuran tidak selalu menyenangkan.
Kadang kadang yang jujur malah dihukum, sedang yang berbohong justru sementara ‘selamat’ dari hukuman. Ini menjadi edukasi yang tidak mendidik bagi publik. Wajar, banyak pihak yang cederung ‘pasif’ dalam mengungkapkan yang sebenarnya, karena dikhawatirkan akan menjadi sasaran ‘bullying’ bagi pihak yang dirugikan.
Apa lagi di bulan puasa, memang tidak membatalkan puasa namun mengurangi bahkan bisa menghilangkan pahalanya. (Republika, Tajuddin Pogo). “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan & hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra’ : 36).
Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa yang mampu menjaga apa yang terdapat di antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan), maka aku jamin akan masuk surga.” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi)
Kemaksiatan yang ditimbulkan oleh lisan adalah tidak jujur. Oleh karena itu mari kita jaga lisan kita kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja dan dalam kondisi apa saja, agar kehidupan kita bernilai sempurna dan terbaik, aamiin!.
Penulis : Amri Ikhsan, Pendidik di MAN 1 Batanghari
Discussion about this post