DPR RI memutuskan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 tetap dilaksanakan. Ya, Kita kembali akan mencoblos Presiden, anggota DPR RI, DPD RI, Kepala Daerah dan anggota DPRD sekaligus. Di waktu yang bersamaan.
Dilema memang bagi pemerintah pusat. Satu sisi menjalankan Undang-Undang, sasi lain ada lobang masalah yang cukup menganga.
Sebelumnya, sempat bergulir wacana revisi Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Revisi rencananya mengembalikan Pilkada ke tahapan regional yakni tahun 2022 dan 2023.
Beberapa daerah yang akan terdampak aturan ini, diantaranya Gubernur DKI, Aceh, Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua Barat, dan sejumlah wali kota/bupati yang habis jabatannya tahun 2022.
Sementara di tahun 2023 ada Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, dan sebagainya. Meski pelaksanaan pemilu serentak 2024 sudah sesuai dengan Undang-Undang, ancaman kerumitan dan jatuhnya ‘korban’ penyelenggara pemilu kembali mengintai. Seperti tahun 2019 lalu.
Bagi masyarakat, rasanya pemilu serentak hanya disibukkan dengan banyaknya surat suara yang harus dicoblos di bilik suara. Tapi tidak bagi penyelenggara pemilu. Terutama panitia pemungutan suara di TPS.
Pengalaman pemilu serentak 2019, ratusan petugas pemilu meninggal dan ribuan jatuh sakit. Lamanya rekaputilasi suara menyita fisik dan tenaga.
Mari bergeser ke potensi gugatan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi. Sembilan hakim MK terancam tidur di kantor selama memeriksa berkas perkara. Pasalnya, perkara perselisihan hasil suara harus diputus MK hanya 45 hari. Berkaca pada pilkada 2020, sebanyak 136 sengkata masuk ke MK.
Angka gugutan di atas diprediksi melonjak pada pemilu serentak 2024. Tak terbayang banyaknya energi yang terkuras bakal dialami pengadil di MK. Kecuali, hakim dan tenggat putusan perkara ditambah.
Di luar beragam ruwetnya penyelenggaraan pemilu 2024, ada yang ancaman yang lebih nyata. Ya, ancaman hak konstitusi masyarakat dalam menentukan pemimpinnya bakal tertunda lama.
Bayangkan, daerah yang pemimpinnya habis masa jabatan tahun 2022, harus menunggu 2 tahun. Selama itu pula akan ada pelaksana tugas. Ini tentu tidak sehat bagi demokrasi Kita.
Bukankah pelaksana tugas tidak bisa mengambil keputusan strategis? Meski terkadang bisa dilakukan. Entahlah. Yang jelas, dengan tidak dipimpin kepala daerah definitif, daerah itu akan dirugikan. Potensi masalah yang akan timbul pun mengancam. Terlebih, masing-masing daerah punya karakteristik sendiri.
Pemerintah beralasan, fokus pada pemulihan ekonomi dan penanganan covid-19. Sementara, siapa menjamin tahun 2024 pandemi covid-19 sudah berakhir.
Hemat Saya, pemulihan ekonomi memang harus digawangi pemerintah pusat. Beda halnya penanganan covid-19 yang kebijakannya lebih banyak dilakukan oleh masing-masing daerah.
Satu paket kepala daerah saja kewalahan memimpin jajarannya mengatasi covid-19. Apalagi jika hanya satu orang. Pelaksana tugas pula.
Kalaupun pemilu serentak tetap dilaksanakan di tahun 2024, tentu Kita berharap proses menuju kesana berjalan aman dan sukses demi kemajuan bangsa dan negara. Semoga.
Penulis : Rolan
Pemimpin Redaksi
Discussion about this post