SINARJAMBI.COM – Pesatnya kemajuan teknologi Artificial Intelligence (AI) alias kepintaran buatan manusia terus menjadi perbincangan. Di beberapa sektor, peran AI sudah banyak mengambil alih. Tak terkecuali di dunia jurnalistik. Bahkan, salah satu televisi nasional swasta belakangan menampilkan presenter AI.
Mungkinkah kerja-kerja jurnalistik juga terancam dengan AI? Bagi Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, kerja jurnalistik bisa saja diambil alih oleh AI, tapi tidak untuk profesi yang bersifat jurnalisme. Artinya, AI hanya sebagai alat. Sementara, sifat jurnalisme tak akan tergantikan.
“Kerja-kerja artificial intelligence ini, nanti mohon pak Wamen kalau salah langsung betulkan aja Pak. Kerja-kerja artificial intelligence itu adalah kerja-kerja teknis, kerja-kerja yang sifatnya lebih pada teknologi yang membantu kita. Dia tidak sama dengan kerja jurnalisme.”
“Mengapa, artificial intelijen hanya kerja jurnalistik tapi bukan kerja jurnalisme. Mengapa, karena kerja jurnalisme membutuhkan rasa, membutuhkan nilai yang itu tidak dimiliki oleh artificial intelligence. Mungkin ini debatable, sama dengan debatable yang saya lakukan dengan teman-teman Mahkamah Agung. Mungkinkah peran dan fungsi hakim nanti digantikan oleh mesin. Waktu itu para hakim juga menolak, tidak bisa digantikan.”
“Ada demi ketuhanan yang maha esa, ada rasa, ada nilai, ada keyakinan. Sementara mesin itu hanya mengumpulkan ini masalahnya, ini alat buktinya, ini saksinya. Maka keluarlah putusannya. Ini tidak ada rasa, ini karena semua itu dinilai secara apa bahasanya Pak Wamen, kayak secara angka-angka gitu ya. Tidak ada rasa di situ, tidak ada nilai keadilan berdasarkan keyakinan,” ujarnya di acara JMSI Award 2024 yang dihadiri Wamen Kominfo Nezar Patria dan Ketum JMSI Teguh Santosa di hotel Discovery, Ancol, Jakarta, Senin (19/2/2024) malam.
Namun diingatkannya, AI belakangan telah banyak membantu kerja dalam hal pengambilan keputusan, meski sifatnya bukan sanksi badan. Misal adalah tilang elektronik. Kembali ke kerja jurnalisme, Ninik Rahayu sekali lagi menegaskan AI tidak akan bisa menggantikannya. Ada peran manusia yang mutlak tak tergantikan.
“Tapi kalau bapak ibu mengikuti perkembangan sekarang, sudah banyak sekali putusan-putusan yang menjatuhkan sanksi, meskipun ini bukan sanksi badan ya. Bentuk-bentuk pelanggaran yang dialihkan pengambilan keputusannya itu tidak lagi pada manusia, tapi pada teknologi. Misalnya orang ditilang, sekarang kan sudah pakai teknologi. Itu pelan-pelan akan ke sana.”
“Nah pertanyaan kita adalah apakah nanti peran memberikan informasi, mengolah informasi, memproduksi informasi bahkan dimulai dari riset itu juga akan dapat digantikan. Nah, kalau mengikuti diskusi rekomendasi dari diskusi tadi siang, tidak akan pernah bisa digantikan. Karena AI bisa kita manfaatkan untuk kerja jurnalistiknya, tetapi tidak akan pernah menggantikan fungsi jurnalisme yang selalu membutuhkan peran manusia,” tegas Ninik Rahayu.
Ke depan, Ia meminta agar diperbanyak forum atau pertemuan diskusi untuk memberdayakan diantara pekerja pers, agar jurnalisme tidak ditinggalkan dan tidak kalah dengan berbagai inovasi yang muncul. Inovasi teknologi itu hanyalah hasil kreasi dari manusia. Aspek dan nilai yang terkandung di dalam jurnalisme itu adalah terus-menerus juga seiring dengan perkembangan manusia itu.
AI memang menyediakan dengan berbagai macam tool (alat) dan sudah dimanfaatkan manusia. Maka AI ini, tambah Ninik, harus menjadi hamba dari manusia bukan manusianya yang dihambakan. Untuk itu, Ninik Rahayu meminta kepada pelaku usaha pers siber untuk terus meningkatkan profesionalisme. Itu karena masyarakat masih sangat butuh informasi yang memberdayakan dan fungsi kontrol sosial yang tidak bisa diambil alih oleh artificial intelligence.
“Artinya apa, dia hanya sebagai tool, sebagai alat. Tetap saja kita memegang teguh prinsip-prinsip etika di dalam berjurnalisme, misalnya tidak diskriminatif, nilai-nilai keberadaban manusia sesuai dengan martabat manusia. Terus-menerus itu yang dijadikan arah bagi kerja-kerja jurnalisme kita. Yang terakhir pada kesempatan ini, karena berbagai tantangan yang dihadapi saat ini terutama bagi media siber yang kita perhatikan sama-sama, pada akhirnya media cetak mulai tergusur, media televisi juga mulai tergusur. Mungkin sudah banyak keluarga yang meninggalkan dan tidak lagi televisi menjadi medium informasi yang ditunggu-tunggu.”
“Ini artinya menjadi tantangan kita bersama untuk memikirkan agar media siber yang sekarang menjadi pilihan ya, termasuk distribusinya di media sosial betul-betul bisa kita jaga. Karena masyarakat kita masih memerlukan informasi yang memberdayakan, informasi yang bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman dan fungsi-fungsi kontrol sosial yang saya rasa itu tidak mudah diambil alih oleh artificial intelligence,” ujar Ninik Rahayu. (Rolan)
Discussion about this post