Transformasi Pendidikan Sebagai Tagihan dan Kebutuhan Kontemporer
 Transformasi digital dalam sektor pendidikan telah bertransisi dari sekadar inovasi menjadi sebuah tagihan institusional dan kebutuhan esensial yang mendesak di tengah persaingan global abad ke-21. Dorongan ini tidak hanya bersumber dari kemajuan teknologi, tetapi juga dari tuntutan untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang memiliki keterampilan digital dan agensi digital (Hannon & Deakin Crick, 2021, hlm. 40).
Kegagalan untuk beradaptasi akan memperlebar kesenjangan digital (digital skills gap) antara sistem pendidikan dan kebutuhan pasar kerja (Nordmeyer & Zirkle, 2023, hlm. 55). Transformasi ini menjadi sebuah keniscayaan untuk memastikan mutu pendidikan tetap relevan dan dikelola secara efisien (Setiawan, 2021, hlm. 70).
1. Mengapa Transformasi Digital Pendidikan Menjadi Tagihan dan Kebutuhan
Transformasi ini menjadi tagihan karena didasari oleh dua faktor utama. Pertama, kebutuhan adaptasi terhadap Society 5.0 yang menuntut integrasi teknologi canggih, termasuk Artificial Intelligence (AI), ke dalam proses belajar mengajar. Penggunaan AI menimbulkan isu pedagogis dan etika yang harus dijawab oleh sistem pendidikan (Huang et al., 2023, hlm. 305).
Kedua, adanya dorongan regulasi dan kebijakan nasional yang mengarahkan pada Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di sektor pendidikan, seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Permendikbudristek Nomor 8 Tahun 2022 tentang SPBE Kemendikbudristek (Peraturan BPK, 2023; Permendikbudriset, 2022). Regulasi ini menuntut adanya tata kelola pendidikan digital yang terencana dan terpadu (Aminudin & Ramli, 2023, hlm. 95).
2. Digitalisasi Pendidikan sebagai Keniscayaan di Seluruh Dunia
Digitalisasi pendidikan adalah proses sistematis pengadopsian teknologi untuk memodifikasi fundamental operasional dan penyampaian pembelajaran, bukan sekadar mengganti alat (Bozkurt et al., 2021, hlm. 20). Proses ini penting untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (ESD), meskipun menghadirkan tantangan dalam pelaksanaannya (Rieckmann et al., 2023, DOI: 10.1016/j.ijedudev.2023.102660).
Di tingkat nasional, digitalisasi diwujudkan melalui kebijakan seperti Kurikulum Merdeka yang sinergis dengan adaptasi teknologi pendidikan (Sudibyo & Susanti, 2023, hlm. 45). Melalui digitalisasi, akses terhadap sumber belajar menjadi lebih luas, mengatasi hambatan geografis dan waktu, sehingga mendorong pemerataan dan inklusivitas.
Teori Digitalisasi Pendidikan
 Digitalisasi dalam pendidikan didukung oleh beberapa kerangka teoretis yang menguatkan pergeseran paradigma dari pengajaran terpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa:
1. Teori Digitalisasi Pendidikan
 Teori Konektivisme: Teori ini sangat fundamental karena pembelajaran di era digital terjadi dalam jaringan dan sistem non-manusia. Belajar adalah kemampuan untuk membentuk, memelihara, dan menavigasi koneksi dalam lingkungan digital yang kaya informasi (Zawacki-Richter & Naidu, 2022, hlm. 170). Literasi digital, yang merupakan inti dari konektivisme, berperan penting dalam konteks perubahan sosial yang diakibatkan oleh teknologi (Liliweri, 2022, hlm. 110).
Teori Perubahan Organisasi (Organizational Change Theory): Transformasi digital bukan hanya isu teknologi, tetapi juga isu organisasi dan kepemimpinan. Keberhasilan memerlukan kepemimpinan strategis untuk mengelola perubahan organisasi, mengatasi resistensi, dan mendorong skalabilitas implementasi digital di tingkat institusi (Vandenhouten et al., 2024, hlm. 150).
Teori Deep Learning: Inovasi pembelajaran abad ke-21 menuntut siswa untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan mentransfer pengetahuan ke konteks baru, yang difasilitasi oleh alat digital yang interaktif dan personalized (Wahyudi & Haryanti, 2024, hlm. 25).
2. Model Transformasi Pendidikan Digital Negara Maju dan Berkembang
 Negara yang sukses dalam transformasi digital tidak hanya berinvestasi pada teknologi, tetapi juga pada reformasi pedagogi dan kesiapan SDM.
Model Negara Maju (Misalnya, Uni Eropa, Singapura): Model ini menekankan pada integrasi teknologi mendalam dan keseimbangan etika. Sistem dirancang untuk personalized learning yang didukung data besar. Kurikulum berfokus pada pengembangan computational thinking dan keterampilan kreatif. Contohnya, Rencana Aksi Pendidikan Digital Uni Eropa yang menggarisbawahi perlunya ekosistem pendidikan digital yang kohesif (Punie & Redecker, 2022, hlm. 12).
Model Negara Berkembang (Fokus pada Kesenjangan): Model ini cenderung fokus pada pemerataan akses infrastruktur dan peningkatan kompetensi guru sebagai prioritas utama. Sistem digital seringkali dimulai dari penyederhanaan administrasi sebelum beranjak ke kurikulum. Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa implementasi teknologi tidak memperburuk ketidakadilan, tetapi justru menciptakan kesetaraan akses (Selwyn, 2024, hlm. 89). Pedagogi harus disesuaikan untuk mengatasi tantangan implementasi teknologi secara efektif (Gros, 2022, hlm. 78).
 
 Penutup
 Transformasi digital adalah suatu keharusan yang memuat tagihan berupa tuntutan global terhadap kualitas SDM dan tantangan berupa kesenjangan implementasi di lapangan. Digitalisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih efektif dan inklusif.
Keberhasilan transformasi ini di Indonesia memerlukan komitmen kolektif, terutama dalam memperkuat tiga aspek: (1) Infrastruktur yang Merata, (2) Literasi dan Kompetensi Digital Pendidik melalui pelatihan berkelanjutan, dan (3) Kebijakan yang Adaptif (Aminudin & Ramli, 2023, hlm. 100).
Dengan demikian, digitalisasi dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mewujudkan ekosistem pembelajaran yang mampu menjawab tuntutan zaman dan menyiapkan generasi emas yang kompetitif.
Penulis : Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd. (Guru Besar UIN STS Jambi)
 







 
Discussion about this post