Demi memitigasi dampak covid-19 dari pelambatan ekonomi pemerintah membuat Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Meski selalu dipertanyakan efektivitasnya, pemerintah berkeyakinan program stimulus berhasil menekan penurunan ekonomi. Singkatnya, jika tidak ada stimulus, maka ekonomi Indonesia akan jatuh lebih dalam kontraksinya. Meski kenyataannya pertumbuhan ekonomi nasional minus 2,19 persen. Setidaknya begitulah argumen yang dibangun pemerintah.
Program PEN sendiri bertujuan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha dalam menjalankan usaha dalam masa pandemi virus covid-19, yang membuat para pelaku kesulitan mendapatkan pemasukan yang sebelumnya normal.
Bagi UMKM sendiri diharapkan program ini mampu “memperpanjang nafas” UMKM dan meningkatkan kinerja UMKM yang sudah berkontribusi pada perekonomian Indonesia. Besaran dana stimulus UMKM ini bukan main besarnya, tahun 2021 ini saja hampir Rp187,17 triliun, Dan ini belum termasuk insentif pajak yang jumlahnya mencapai Rp56,12 triliun.
Kebijakan tersebut berbentuk restrukturisasi kredit, subsidi bunga dan penjaminan modal kerja. Kebijakan stimulus tersebut dianggap masih belum efektif karena pemerintah masih terlalu fokus pada perbankan untuk penyaluran aspek pembiayaannya.
Tentu saja pihak yang mempertanyakan Efektivitas ini mengingatkan pengalaman tentang risiko tidak efektif dan tidak tepat sasaran bantuan serupa di masa lalu. Karena pelaku UMKM umumnya belum memenuhi persyaratan perbankan (Unbankable).
Kondisi sebagian besar pelaku usaha mikro di Indonesia sebagian besar masih belum familiar dengan perbankan dan umumnya belum memiliki kapasitas untuk memenuhi persyaratan memperoleh kredit yang diajukan oleh bank, seperti persyaratan agunan, dokumentasi pembukuan yang lengkap. Sehingga, stimulus UMKM yang terlalu fokus pada pembiayaan melalui institusi perbankan, maka sebagian besar pelaku UMKM di Indonesia tidak akan dapat menerima manfaat dari stimulus tersebut.
Selain masalah di atas hambatan stimulus UMKM ini juga ada pada data yang belum memungkinkan percepatan penyaluran stimulus ekonomi.
Meski secara regulasi sudah ada aturan terkait dengan data tunggal, integrasi data, dan saat ini sudah ada rancangan Perpres yaitu terkait penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) dalam setiap layanan publik. Namun, untuk penyaluran bantuan dalam rangka pemulihan ekonomi saat ini, pemerintah menggunakan kompilasi data yang sebagai jalan tengah, dengan memperluas sumber data dari berbagai pihak
Seperti menggunakan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, juga diintegrasikan dengan data pemda dan lembaga-lembaga terkait. Kondisi ini tentu menyadarkan kita bahwa pentingnya integrasi data dari semua pihak para pemangku kepentingan.
Ke depan skema pembiayaan untuk UMKM harus lebih beragam atau diversifikasi mengingat karakteristik dan kapasitas UMKM yang amat sangat beragam.
Pembiayaan melalui perbankan tetap terus didorong, namun perlu ada skema pembiayaan yang diberikan di luar mekanisme perbankan, termasuk bantuan langsung dari APBN yang dikelola pemerintah. Meski demikian, distribusi bantuan tersebut tetap harus dirancang secara hati-hati untuk mengurangi risiko moral hazard dan ketidaktepatan sasaran.
Tentu saja setelah melakukan dorongan kepada dunia usaha, perlu juga di ikuti dengan kebijakan mengembangkan sektor-sektor ekonomi potensial, terutama pada sektor-sektor potensial sumber pemulihan ekonomi, seperti sektor pariwisata yang berkaitan erat dengan UMKM.
Terakhir, walau bagaimanapun roda ekonomi perlu di dorong, sehingga meningkatkan daya beli masyarakat, agar bergerak lebih cepat. Jika dunia usaha sudah bergerak, di situlah awal pertumbuhan ekonomi terjadi. Harapannya stimulus yang di alokasikan pada APBN berbuah hasil besar dan punya daya dorong yang lebih tinggi bagi UMKM. Salam. !
Penulis : Dr. Noviardi Ferzi, SE, MM (Pengamat Ekonomi / Dosen STIE Jambi)
Discussion about this post