SINARJAMBI.COM – Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Riswinandi mengatakan, Fintech peer to peer lending atau dikenal dengan istilah pinjaman online (pinjol) sejatinya merupakan salah satu jenis industri keuangan yang memiliki peran cukup vital. Terutama dalam meningkatkan fungsi keuangan untuk menjangkau masyarakat yang belum memiliki akses kepada perbankan.
“Dan jika diibaratkan, fintech merupakan sebuah jembatan penghubung antara para pihak sebagai yang memiliki dana, dengan para masyarakat luas sebagai yang membutuhkan dana untuk membantu mengurai rantai distribusi ekonomi yang panjang.”
“Serta memperbesar akses layanan keuangan kepada masyarakat, terutama sektor informal produktif atau yang termasuk dalam UMKM,” ujar Riswinandi lewat webinar yang digelar OJK dan diikuti sinarjambi.com, Selasa (9/11/2021) siang.
Pembiayaan pada sektor produktif ini, tambah Riswinandi setidaknya terlihat pada statistik penyaluran pembiayaan pada sektor produktif di industri fintech peer to peer yang sudah terdaftar di OJK.
Di mana sampai dengan Oktober 2021, akumulasi penyaluran ini telah mencapai Rp 114,76 Triliun atau mencapai 43,65% dari akumulasi penyaluran pembiayaan secara total.
“Hal ini memperlihatkan bahwa peran dari fintech untuk sektor produktif seperti UMKM memiliki potensi yang sangat besar. Selain daripada itu, kami juga melihat bahwa fintech yang ada di negeri kita ini cukup prospektif dan memiliki peluang melakukan penetrasi ke pasar regional.”
“Setidaknya di negara-negara ASEAN sudah ada Ada fintech peer to peer lending di Indonesia ini yang sudah beroperasi di antaranya negara Thailand dan Filipina. Tentu hal ini membuktikan bawa fintech kita memiliki keunggulan daya saing yang baik, terutama operasionalnya mampu melakukan akuisisi kepada pelanggan secara cepat tanpa tatap muka atau online. Dan mampu melakukan asesmen dari resiko dengan dukungan teknologi mesin cerdas yang kita bisa disebut juga dengan artificial intelligance,” paparnya.
Fenomena fintech lending ilegal di tengah berbagai capaian kontribusi industri fintech yang legal di Indonesia memang cukup meresahkan. Riswinandi mengibaratkannya seperti pepatah gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga.
Ditambahka Riswinandi, akibat dari banyaknya pinjol ilegal ini maka citra industri fintech peer to peer tentu cukup terganggu. Padahal dengan segala keunggulannya, fintech lending di Indonesia ini industri sangat potensial untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan finansialnya secara cepat dan menjangkau kepada seluruh pihak.
“Harus kita akui memang literasi keuangan masyarakat di Indonesia masih rendah, yakni sebesar 38,0 persen. Setengah dari masyarakat kita ini yang memiliki akses kepada produk keuangan belum paham mengenai produk keuangan itu sendiri.”
“Oleh karena itu sangat penting mengedukasi masyarakat untuk selalu dapat membedakan mana fintech yang legal atau sudah berizin dan terdaftar di OJK, dan mana yang ilegal atau tidak terdaftar di OJK. Sebagai tindakan preventif, OJK juga sudah melakukan berbagai kegiatan termasuk sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai kanal sosial media, webinar kuliah umum baik yang dilakukan oleh edukasi Perlindungan konsumen di internal bagian OJK.”
“Kemudian juga Satgas Waspada Investasi maupun juga kepada satu satker yang ada di pengawasan. OJK juga memiliki kanal komunikasi, baik melalui email atau pun telepon bagi warga yang ingin melakukan pengaduan ataupun pertanyaan terkait fintech peer to peer lending,” jelas Riswinandi.
Dikatakan Riswinandi, OJK juga melakukan upgrading atau perbaikan daftar list dari para pelaksana platform peer to peer lending yang sudah terdaftar dan berizin di OJK, baik melalui website maupun kanal sosial media lainnya.
Ini dimaksudkan agar masyarakat senantiasa bisa mengetahui mengenai daftar fintech yang sudah berizin dan terdaftar di OJK sebelum melakukan transaksi kepada platform-platform. Keberadaan fintech ilegal, tambah Riswinandi merupakan PR bersama yang perlahan tapi pasti harus ditertibkan.
“OJK tidak bisa melakukannya sendiri. Kami membutuhkan bantuan bapak dan ibu dari kepolisian, kejaksaan, Kemenkominfo dan tentu stakeholder lainnya untuk melakukan bersama-sama penegakan hukum. Disamping itu juga dari kemenkominfo juga melakukan cyber patrol. Ini juga untuk menghambat penyebaran aplikasi fintech ilegal dan tentu Bapak Ibu dari Kementerian lembaga lain yang juga ikut menjadi tergabung dalam Satgas waspada investasi sebagai langkah konkrit OJK bersama dengan aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan, Kementerian lembaga yang tergabung dalam Satgas waspada investasi terus melakukan penyisiran dan penindakan terhadap fintech ilegal.”
“Setidaknya sejak tahun 2018 sampai dengan sekarang sudah lebih 3631 fintech legal yang berhasil ditindak,” urai Riswinandi.
Di internal OJK, kata Riswandi memperkuat sistem pengawasan internal dengan menggunakan pendekatan teknologi. Yakni membangun pusat data fintech lending terintegrasi. Lewat sistem ini, fintech dapat melakukan pengecekan sebelum melakukan pencairan daripada pinjaman kepada para calon nasabahnya.
“Sehingga, seluruh transaksi dari fintech akan dapat dimonitor dan diawasi secara langsung oleh kami. Baik itu pengawasan terhadap limit pinjamannya, monitor tingkat keberhasilan penyaluran pinjamannya kemudian juga kepatuhan di wilayah penyaluran pinjaman dan lain-lain hal yang terkait dengan aturan yang telah di sosialisasikan.”
“Diharapkan dengan hadirnya sistem pengawasan ini, nantinya dapat semakin memperkuat pengawasan terhadap operasional dari fintech peer to peer yang berizin dan terdaftar di OJK,” harap Riswinandi.
Dialog kebangsaan menampilkan nara sumber Kasubit II Dittipid Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Riski A Prakoso, Plt Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kemenkominfo RI Anthonius Malau dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pendanaan Bersama Indonesia, Sunu Widyatmoko.
Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam Lumban Tobing tampil sebagai moderator dialog kebangsaan. (Rolan)
Discussion about this post