SINARJAMBI.COM – Dunia terus bertransformasi, dan sektor keuangan pun tak luput dari perubahan. Perkembangan teknologi digital telah membuka peluang baru bagi industri keuangan untuk semakin inovatif dan inklusif. Untuk menjawab tantangan dan peluang tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), dan Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) kembali menggelar The 6th Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2024.
Acara yang berlangsung pada 12-13 November 2024 di The Kasablanka Hall Jakarta ini mengangkat tema “Technology Convergence: Shaping the Future of Finance and Beyond”. IFSE 2024 menjadi wadah bagi para pelaku industri, regulator, dan pemangku kepentingan untuk berdiskusi dan berbagi pengetahuan mengenai perkembangan terbaru di sektor fintech.
Dalam sambutan pembukanya, Aldi Haryopratomo, Waketum II AFTECH, menyampaikan bahwa bidang industri financial and technology (fintech) berkembang sangat cepat. Selalu ada hal baru setiap tahun, di mana saat ini beberapa topik yang sedang hangat di antaranya adalah crypto, blockchain, dan digital bank. Oleh karena itu, perlu kolaborasi antara fintech dengan berbagai pihak terkait.
“Saya melihat bahwa Indonesia mulai menjadi pemimpin di beberapa sektor fintech. Bahkan negara-negara seperti Jepang yang dulu kita anggap sebagai pelopor dalam teknologi sudah mulai melihat Indonesia dengan penuh perhatian. Semakin banyak sektor di mana Indonesia bukan hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi juga sebagai pemimpin dalam inovasi global. Ke depan, perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspansi ke luar negeri, mungkin bukan hanya berasal dari Amerika, tetapi juga dari Indonesia. Dan itu semua dimulai dengan kolaborasi seperti yang kita lakukan hari ini,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto, OJK, Hasan Fawzi dalam sambutannya menyebut pihaknya mengarahkan ekosistem keseluruhan keuangan digital di Indonesia tidak hanya bertumbuh cepat, tetapi juga menuju ke arah yang bisa memberikan manfaat. Ia juga menegaskan pentingnya mengedepankan perlindungan konsumen, salah satunya dengan meningkatkan pengawasan market conduct.
“Bermanfaat tidak hanya bagi para pelaku bisnis dan kegiatan di industrinya saja, tapi juga berdampak kepada peningkatan dan manfaat kegiatan di sistem keuangan dan tentu mendukung pertumbuhan perekonomian nasional,” kata Hasan.
Senada dengan hal tersebut, sesi diskusi panel “Fintech Super Panel: Navigating the Future of Indonesia’s Financial Ecosystem: Policy, Innovation, and Growth in 2025”, secara spesifik membahas mengenai kondisi geopolitik yang mempengaruhi financial system di Indonesia.
Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal, Kementerian Keuangan, Arief Wibisono, menyampaikan bahwa di balik peluang yang ditawarkan fintech, terdapat berbagai macam tantangan. Pihaknya berupaya mengatasi hal tersebut dengan cara menyusun peraturan dan pelaksanaannya. Ia mengatakan, Undang-Undang P2SK yang baru disahkan pada 2023 bertujuan untuk memperkuat sektor keuangan dan mengakomodasi perkembangan fintech, termasuk mengatur platform dan fintech secara lebih komprehensif.
“Saat ini kami sedang menyusun berbagai peraturan pelaksanaan. Dari undang-undang mengenai pengembangan dan penguatan sektor keuangan. Jadi saya tidak khawatir dengan berbagai perkembangan global karena kita sudah punya undang-undang P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan P2SK),” ujarnya.
Arief juga mengatakan bahwa industri fintech menunjukan perkembangan yang progresif sehingga diperlukan adanya kerangka pengaturan yang kolaboratif, mengingat peran Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) yang akan berdampak pada berbagai layanan, produk, aktivitas, dan model bisnis dalam ekosistem keuangan digital. ITSK mencakup berbagai aspek, seperti: Pembayaran digital, Pinjaman online, Investasi, hingga Asuransi berbasis teknologi. Menurutnya, ITSK ke depan akan menjadi fondasi ekosistem keuangan digital di Indonesia.
Sementara itu, Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, Fitria Irmi Triswati, mengungkapkan pihaknya tengah mempersiapkan respons bauran kebijakan yang tepat, terutama bagi setiap otoritas untuk mengantisipasi akselerasi digital ini.
“Dari sisi Bank Indonesia, kita memiliki bauran kebijakan dengan peran BI sebagai otoritas moneter, penjaga stabilitas sistem keuangan, serta otoritas sistem pembayaran. Kami selalu mengadakan pertemuan dengan Asosiasi dan pelaku industry untuk merancang kebijakan yang sinergis. Dalam hal sistem pembayaran, kami telah meluncurkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia tahun 2030, yang telah menghasilkan berbagai inovasi. Ini menjadi panduan bagi kami untuk merespons perkembangan transformasi digital yang terjadi,” paparnya.
Adapun Djoko Kurnijanto selaku Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto, OJK, mengatakan bahwa potensi perkembangan ekonomi digital Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) sangat besar. Hal ini didukung dengan besar nya populasi di Indonesia, dimana lebih dari 50% adalah gen Z dan millenials yang notabene digital native dan tech-savvy. Hal ini juga didukung oleh tinggi nya penetrasi masyarakat Indonesia terhadap akses mobile phone, internet, maupun media sosial. Kondisi tersebut sangat mendukung meningkatnya permintaan dan kebutuhan masyarakat terhadap berbagai inovasi atas produk dan layanan jasa keuangan, yang lebih mudah dan nyaman untuk dapat diakses secara digital.
Untuk itu OJK senantiasa mendorong perkembangan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) untuk dapat menjawab kebutuhan masyarakat tersebut secara bertanggung jawab, sehingga diharapkan dapat meningkatkan akses dan inklusi keuangan dan juga berkontribusi untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga aspek perlindungan konsumen.
“Secara regulasi, OJK telah mengeluarkan POJK 3/2024 bagi Penyelenggaraan ITSK untuk memberikan panduan bagi penyelenggara ITSK agar dapat berkembang secara bertanggung jawab dan menekankan kepada pentingnya perlindungan konsumen dan integritas pasar, serta mencakup pula penyediaan ruang uji coba dan pengembangan inovasi”, tutup Djoko.
Indonesia memiliki ekonomi digital terbesar di ASEAN
Berdasarkan laporan bersama Google, Temasek, dan Bain & Company, ekosistem ekonomi digital Indonesia merupakan salah satu yang tumbuh paling cepat di Asia Tenggara dan diperkirakan akan melebihi angka 130 miliar USD pada tahun 2025. Saat ini, nilai ekonomi digital Indonesia sudah mencapai sekitar 90 miliar USD, menyumbang hampir 40% dari ekonomi digital ASEAN, didorong oleh tingginya penetrasi internet dan populasi muda yang tech-savvy. Hal ini didorong oleh kuatnya kolaborasi antara bank dan fintech dalam mendorong inklusi keuangan. Kolaborasi akan mempercepat proses digitalisasi lembaga keuangan dan memperluas akses layanan keuangan bagi masyarakat.
Sejalan dengan data tersebut, diketahui bahwa berdasarkan data Bank Indonesia pada bulan September 2024, nominal transaksi QRIS mencapai Rp 66,43 triliun dengan volume tercatat sebesar 619 juta transaksi, hal tersebut menjadi tanda bahwa ekonomi digital di Indonesia tumbuh secara inklusif. Pada panel diskusi hari ini, Rabu (13/11), topik-topik yang diangkat sangat relevan dengan transformasi digital dalam sektor fintech dan ekonomi digital Indonesia. Ketiga topik menggambarkan bagaimana teknologi, regulasi, dan inovasi dapat bersinergi serta berkolaborasi membentuk masa depan industri keuangan Indonesia yang inklusif.
Kolaborasi Lembaga Jasa Keuangan dan Fintech, QRIS: Jembatan Indonesia Menuju Pembayaran Global
Dalam sesi khusus yang membahas QRIS: Indonesia’s Passport to Global Payments, para peserta diajak untuk melihat lebih dekat bagaimana Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) telah menjadi solusi pembayaran yang semakin populer di Indonesia. QRIS tidak hanya memudahkan transaksi di dalam negeri, tetapi juga membuka peluang bagi Indonesia untuk terhubung dengan ekosistem pembayaran global.
Deputi Direktur, Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, Elyana K. Widyasari mengatakan bahwa QRIS telah menjadi sebuah standar baru yang mengubah sistem pembayaran di Indonesia. “QRIS adalah game changer di Indonesia. Dengan QRIS, kita bisa melakukan pembayaran dengan mudah, aman, cepat, dan handal.. Lebih dari itu, QRIS juga menjadi salah satu kunci untuk mendorong inklusi keuangan dan meningkatkan daya saing ekonomi digital Indonesia di kancah internasional,” ujar Elyana.
Sementara itu, Asisten Deputi Ekonomi Digital, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Theodore Sutarto, menyampaikan masih terdapat kendala penggunaan QRIS di Indonesia, seperti konektivitas, akses, atau tingkat kecepatan. Oleh karena itu, Theodore mengharapkan pemerintah terus berusaha meningkatkan penetrasi dan kecepatan internet. Namun, ia menilai implementasi QRIS di Indonesia sudah cukup baik, terutama dengan adanya interkonektivitas negara-negara ASEAN. “QRIS memudahkan kita dalam melakukan e-payment karena negara-negara ASEAN lain juga memiliki pola pikir yang sama. Sekarang ini, dengan interkonektivitas di ASEAN, pergerakan menjadi lebih cepat. Adanya QRIS, membuat Indonesia dikenal dan dianggap cukup. Kita menjadi contoh baik bagi negara-negara lain,” paparnya.
AI di Dunia Fintech dan Masa Depan Dunia Kerja: Dari Startup ke Ekonomi Digital
Kemudian, sesi diskusi panel “Beyond Humans: AI’s Next Conquest in Fintech” memberikan wawasan mengenai tren kecerdasan buatan (AI) yang semakin populer, terutama setelah peluncuran Chat GPT dua tahun lalu. Saat ini, 65% perusahaan global sudah menggunakan AI secara reguler. Di industri jasa keuangan, sekitar 90% institusi telah mengintegrasikan fungsi AI ke dalam operasional mereka, dengan angka yang kemungkinan lebih tinggi pada perusahaan fintech. Beberapa manfaat AI di sektor fintech antara lain untuk meningkatkan operasional bisnis, memperbaiki pengalaman pelanggan, memperkuat manajemen risiko, kepatuhan regulasi, hingga pencegahan penipuan.
Namun, masih terdapat beberapa tantangan dalam penerapan AI khususnya di sektor fintech. Di antaranya, menjaga keseimbangan antara inovasi dan privasi data, serta penggunaan AI yang etis dan aman. Selain itu, ada tantangan dalam memanfaatkan AI untuk meningkatkan inklusi keuangan, khususnya untuk komunitas yang kurang terlayani seperti masyarakat pedesaan dan usaha mikro.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Hokky Situngkir menyampaikan, AI dapat mengubah model bisnis tradisional dan memperluas inklusi keuangan. Namun, dengan berbagai tantangan yang ada, penting untuk menerapkan regulasi demi keamanan siber pada ekosistem digital.
“Kemenkominfo sudah memiliki landasan hukum berupa Undang-Undang Dasar, UU ITE, serta aturan baru yang diluncurkan baru-baru ini. Ada tiga fokus utama untuk teknologi AI, yaitu peran manusia tetap krusial terutama terkait dengan aspek keamanan. Lalu, pengembangan teknologi, dan transparansi,” ujar Hokky.
Berbicara mengenai digital talent, AFTECH Annual Members Survey 2024 menemukan kesenjangan keterampilan masih menjadi concern dari pelaku usaha fintech. Hasil survei menunjukkan bahwa 46,6% responden mengidentifikasi data dan analisis merupakan keterampilan yang masih sulit ditemukan pada Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, diikuti oleh 45% yang menyebutkan kesenjangan di sektor keamanan siber, dan 34,4% kesenjangan dari pengetahuan tentang manajemen risiko. Hal tersebut tentu dapat diminimalisir melalui serangkaian kegiatan mengenai pelatihan terhadap sumber daya manusia guna memenuhi kebutuhan digital talent pada industri fintech.
Dalam sesi diskusi panel “Fintech and the Future of Work: From Startup to Digital Economy”, Willem HG Najoan, Operation Director JobStreet Indonesia menyampaikan bahwa kemajuan dan kolaborasi teknologi memberikan banyak dampak positif dalam ketenagakerjaan. Dengan dunia kerja saat ini yang tanpa batas, kita dapat terhubung terhubung dengan wilayah seperti Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Indonesia tidak lagi menjadi tempat bekerja bagi pendatang asing, tetapi juga mengirimkan tenaga kerja lokal ke luar negeri. Digitalisasi membuka semua peluang ini, serta memudahkan peningkatan keterampilan melalui berbagai platform yang tersedia, baik gratis maupun berbayar.
“Saat ini, kita melihat adanya tenaga kerja dari berbagai jenis, seperti white-collar, blue-collar, freelance, serta UMKM. Digitalisasi telah membuka ribuan, bahkan jutaan peluang kerja. Dengan adanya digitalisasi membantu perusahaan dalam memanfaatkan tenaga kerja,” tutur Willem.
The 6th Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) ditutup meriah dengan penampilan Juicy Luicy band sebagai pelengkap keseruan kegiatan selama dua hari. AFTECH tetap mengajak partisipasi aktif masyarakat untuk terlibat dalam rangkaian Bulan Fintech Nasional (BFN) 2024 yang dapat diakses melalui www.bulanfintechnasional.com serta tetap menggaungkan kampanye digital #GueAFIN dan #SiPalingFintech untuk lebih memahami dan memanfaatkan layanan fintech dalam kehidupan sehari-hari.
Mari bersama-sama membangun ekosistem keuangan digital yang inklusif dan berkelanjutan. Daftar dan jadilah bagian dari IFSE 2024 melalui www.bulanfintechnasional.com. (*)
Discussion about this post