SINARJAMBI.COM – Suara warga dan organsasi masyarakat sipil Jambi menolak dan mendesak moratorium Batubara makin kencang disuarakan berbagai kalangan.
Praktek pertambangan Batubara di Jambi telah mengabaikan good governance (tata kelola yang baik) dan clean government (pemerintahan yang bersih) sehingga menimbulkan kegagalan kebijakan (policy failure) dan kegagalan kelembagaan (institutional failure).
“Kesemerawutan batubara Jambi merupakan salah satu bentuk kegagalan kebijakan pengelolaan SDA di Indonesia yang berimplikasi negatif secara sosial ekonomi, lingkungan dan hak-hak masyarakat akan jalan bahkan pelanggaran HAM,” ungkap Angga Septia selaku Deputi Direktur Perkumpulan Hijau (PH) di Jambi (5/7) tadi.
Dalam masalah ini berbagai komponen masyarakat telah mendesak penyelesaian Batubara, baik berbagai koalisi masyarakat ikut turun mengalang gerakan menyikapi Batubara.
“Eksploitasi sumber daya alam seperti pertambangan, menyebabkan kesengsaraan, kerusakan dan pencemaran lingkungan. Sedang, penikmat alias perusahaan tambang terus mengeruk bumi, masyarakat hanya menerima masalah,” imbuh penggiat lingkungan tersebut.
Angga sendiri selama ini dikenal aktiv melakukan advokasi kebijakan lingkungan. Aktif juga melakukan investigasi konflik perkebunan sawit dan juga tergabung di dalam Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera.
Ketika investasi datang dengan janji memberikan lapangan kerja, faktanya lapangan kerja mandiri dari masyarakat hancur, kita kehilangan lahan pertanian dan sawah,” ungkapnya.
Selain itu Feri Irawan yang juga penggerak koalisi mengatakan AN – TAM lahir sebagai bentuk protes atas kinerja pemerintah yang tutup mata akan dampak negatif Batubara. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan sedang mendengarkan saksi fakta korban angkutan BB, melalui pendamping yang mengorganisir masyarakat lokal, hingga komunitas-komunitas dan warga yang terdampak langsung pertambangan minerba, di sejumlah wilayah di Jambi baik Sarolangun, Batanghari, Muaro Jambi, Bungo, Tebo dan lainnya.
Suara warga dan organisasi masyarakat sipil dari Jambi ini menolak dan mendesak agar Batubara di Moratorium karena selain menimbulkan kemacetan juga telah menimbulkan korban jiwa berupa orang meninggal karena Lakalantas.
Berdasarkan verifikasi lapangan, dalam kurun waktu 2012 – 2022 telah terjadi 2216 kecelakaan karena angkutan Batubara, dari jumlah itu 1442 orang korban meninggal dunia, sisanya cacat dan cidera.
Ironinya, para korban meninggal ini tanpa kompensasi memadai. Sehingga fenomena korban angkutan Batubara adalah suatu pembiaran yang melanggar HAM, menciderai nilai dasar kemanusian.
Sementara itu Ahmad Kaspun Nazir (AKN) salah seorang pemuda Jambi yang berasal dari Desa Matagual Kecamatan Batin XXIV Batanghari juga mempersoalkan angkutan Batubara di wilayah desanya. Menurutnya angkutan BB menjadi persoalan hari-hari yang menyusahkan kehidupan warga.
“Terus terang hidup tak sama lagi sejak Batubara menguasai jalan – jalan yang melintas di desanya, bukan hanya in efisiensi waktu tapi juga sudah melahirkan korban jiwa, konflik horizontal di masyarakat,” ungkap Aktivis Mahasiswa UNBARI yang dikenal vokal ini.
Kaspun sendiri tergabung dalam gerakan AN – TAM akan kesamaan ide dan gagasan, jikapun ada kepentingan untuk masyarakat, hanya sebatas demi orang Jambi, demi umat. Bahkan, Kaspun mengaku dirinya baru – baru ini telah ke Jakarta, dalam rangka mengantar data temuan terbaru akan korban batubara di Jambi. Termasuk dinamika tambang dari hulu dan hilir.
Ketua Karang Taruna Jambi Navid, salah seorang mandataris AN – TAM menuntut, pemerintah bertanggungjawab memulihkan lingkungan dan reklamasi pasca tambang. Dia juga mendesak, pemerintah memoratorium ini. “Tidak ada kesejahteraan di level masyarakat sekitar pertambangan.
Kehadiran pertambangan batubara berdampak buruk dalam berbagai sektor kehidupan warga, dari ekonomi sampai kesehatan.
Menurutnya, kondisi tambah parah dengan tidak ada negosiasi antara perusahaan dan masyarakat pemilik lahan, hingga besaran ganti rugi sepihak.
Warga protes. Perusahaanpun merespon dengan beri janji-janji manis, seperti janji membenahi jalur irigasi rusak karena limbah, memperbaiki akses jalan masyarakat yang hancur jadi rute transportasi perusahaan tambang. Juga janji, reklamasi, ganti rugi dengan nilai wajar, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan lapangan pekerjaan.
“Selama ini, katanya, pengusaha-pengusaha industri ekstraktif melepaskan diri dari tanggung jawab, rakyat yang menderita,” tandasnya. (*/Lan)
Discussion about this post