Tidak dapat dipungkiri, sebagai pejabat publik yang disumpah atas nama agama, dilekatkan kitab suci maka terkandung makna amanah.
Didalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “amanah” dapat dipadankan dengan kata “amanat”.
Kata “amanah” diartikan sebagai (1) Pesan yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan. Dapat diartikan juga “kepercayaan”.
Sedangkan kata “amanat” adalah sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain. Dapat juga pesan. Atau nasehat yang baik dan berguna dari orang tua kepada anaknya. Dapat juga diartikan sebagai petuah.
Amanat juga diartikan sebagai perintah (dari atas). Amanat juga diartikan sebagai wejangan dari seorang Pemimpin.
Didalam agama Islam, selain memerintahkan umatnya untuk menunaikan amanah, juga peringatan bagi orang yang menyia-nyiakan amanah. Tindakan mengkhianati amanah disebut sebagai tanda munafik.
Secara tegas diuraikan, tanda-tanda munafik yakni berbicara dusta, berjanji kemudian mengingkari dan diberikan amanat kemudian dia khianati.
Bahkan menjadi tidak sempurna keimanan seseorang yang telah diberi amanah namun ternyata berkhianat.
Lalu bagaimana terhadap seseorang yang sedang menjabat jabatan publik namun kemudian amanah yang diberikan ternyata tidak dilaksanakan dengan baik.
Pengingkaran terhadap amanah yang diberikan tidak hanya menimbulkan kerugian kepada yang berkhianat yang kemudian tidak dipercayakan.
Namun justru akan membangun paradigma sinisme dari publik yang meragukan setiap tindakan dari sang pengkhianat.
Apapun yang disampaikan yang menjadi konsumsi publik akan menimbulkan antipati dari publik.
Dari ciri-ciri negara demokratis, kepercayaan dari publik adalah harga yang mesti dijaga. Sekali saja publik mulai meragukan dan ketidakpercayaan kepada lembaga akibat dari pengurusnya maka menyebabkan simbol-simbol demokrasi menjadi titik nadir.
Jatuh ke lubang ketidakpercayaan.
Dan itu akan menyebabkan rusaknya sendi-sendi demokrasi.
Penulis : Musri Nauli
Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani
Discussion about this post