Kira-kira begini ucapan pemimpin redaksi Saya 18 tahun lalu. Sore hari. ‘Dek…nanti Kamu ke Aceh ya’. Saya jawab singkat. ‘Iya, baik Mas’. Panggilan ‘Dek’ begitu familiar di grup koran Jawa Pos. Setiba di ruang redaksi lantai empat Graha Pena Jambi Independent, Thehok, baru ngeh akan perintahnya. Seketika itu pun bergegas turun kembali ke lantai dasar menemuinya. Saya pun meminta penegasan kembali penugasan itu.
Ternyata, Saya ditugaskan membawa bantuan pembaca setia JI (singkatan harian pagi Jambi Independent) bagi korban gempa dan Tsunami yang menerjang Aceh tanggal 26 Desember 2004. Pasalnya, perintah itu diberi saat Saya baru sampai kantor usai seharian lelah memotret. Ya, memotret. Di redaksi, Saya fotografer. Kepada salah seorang rekan sejawat di redaksi, Saya pun berseloroh. ‘Bos merintahin kayak nyuruh pergi ke Telanai aja ya’.
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dulu bernama propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh ibukotanya. Bukan daerah yang asing bagi Saya. Maklum, 5 tahun (1990-1995) Saya pernah menetap di sana saat orangtua bertugas. Mungkin, itu juga pertimbangan Pimred menugaskan.
Saya ingat betul, segala macam barang bantuan diberikan pembaca. Menumpuk di kantor. Diantaranya mi instan, beras dan lainnya. Baju bekas layak pakai mendominasi. Sang Pimred (juga sebagai General Manager), meminta Saya melobi Pos Indonesia di Jambi untuk bekerjasama membawa bantuan.
Singkat cerita, pihak Pos Indonesia bersedia menyediakan satu truk ukuran besar memuat bantuan. Seharian beberapa rekan-rekan kantor memuat barang ke dalam truk. Saya lupa tanggal pasti terbang ke Aceh. Tapi, di surat penugasan yang masih Saya simpan tertulis 20 Januari 2005.
Berarti, Saya berangkat sekitar beberapa hari sebelum surat tugas diteken. Ini karena surat tugas dikirim setelah Saya tiba di Medan. Surat tugas ini, tak sengaja ketemu beberapa hari lalu saat bersih-bersih di rumah. Ditemukannya surat tugas ini juga lah, mendorong Saya menulis untuk pertama kalinya kisah tak terlupakan ini. Terlebih, surat tugas ditemukan hanya hitungan hari jelang mengenang peristiwa Tsunami 26 Desember. Surat tugas ini pun ada cerita tersendiri.
Sebelum ke Aceh, Saya koordinasi dengan sang sopir truk. Awalnya, Kami sepakat janjian ketemu di Banda Aceh. Itu setelah sopir meyakinkan Saya jika Ia pernah ke sana sebelumnya.
Setelah transit Jakarta menumpang Mandala Air, pesawat mendarat di Medan. Di sini, Saya istirahat sejenak di rumah orangtua sebelum terbang ke Aceh. Bapak Saya baru tahu maksud kepergian ke Aceh. Ini karena Saya tak memberitahu sebelum sampai di Medan. Saya takut jika tidak diizinkannya. Meski tak menunjukkan amarah, dari wajahnya sedikit tersirat kekecewaan. Maklum, saat itu Aceh belum kondusif.
Beberapa hari kemudian, HP Saya berdering. Sang sopir menelepon. Mengabarkan sudah sampai di kantor Pos Besar kota Medan. Dia minta bertemu dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh.
Di sinilah cerita surat tugas itu berawal. Sang sopir, mendadak mengaku kurang hafal jalan darat ke Banda Aceh. Ia minta Saya ikut dalam truk menuju Banda Aceh. Kacau. Itu yang terucap dalam hati Saya. Kesal bercampur bingung. Pasalnya, tiket pesawat Medan – Banda Aceh sudah dibeli jauh-jauh hari oleh kantor. Belum lagi resiko keamanan di perjalanan.
Meski kesal, Saya harus mengiyakan ajakannya. Bantuan itu taruhannya. Harus sampai ke tujuan. Tanggung jawab lumayan berat bagi Saya di usia 28 tahun yang saat itu baru hitungan tahun bekerja. Bukan ‘berat’ karena waktu tempuh 12 jam dari Medan. Tapi karena saat itu, Aceh baru setahun usai operasi militer yang ditetapkan pemerintah Indonesia.
Sepanjang jalan Medan – Aceh banyak pos aparat pengamanan. Beragam cerita bersileweran akan rawannya jalur darat saat itu. Mulai dari isu penjarahan bantuan, sampai yang paling mengancam nyawa. Tak lain, baku tembak aparat dan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Seketika, teringat gugurnya wartawan televisi swasta nasional Ersa Siregar tertembak saat meliput konflik tahun 2003.
Kabar pemeriksaan oleh aparat bagi kendaraan melintas lah yang bikin Saya tergerak mengabari kantor untuk dikirimkan surat tugas. Cukup berisiko jika hanya mengandalkan ID Card wartawan. Bisa saja dibilang hanya menumpang truk. Memang, di badan truk ada spanduk bertuliskan ‘Bantuan Jambi Independent’. Karena hari sudah mepet, Saya minta surat tugas dikirim via faximile.
Pagi-pagi sekali Kami bergerak dari Medan. Benar saja. Begitu masuk perbatasan Sumut-Aceh di Tamiang, satuan TNI-Polri terlihat berjaga. Disini, Kami mulus melintas. Mungkin karena masih jauh dari titik rawan konflik. Dalam truk, Kami hanya berdua. Saya pun mendadak jadi kernet truk.
Cerita berbeda terjadi saat masuk pertengahan jalan. Saya lupa lokasi persisnya. Truk Kami mendadak terjebak macet parah. Kendaraan mengular. Disini lah untuk pertama kali surat tugas itu ditunjukkan ke aparat yang kebetulan patroli mengecek kendaraan. Cerita yang didapat dari warga dan sopir lainnya, ternyata di depan jalan ada kontak senjata. Adrenalin mulai melonjak.
Tak lama, kemacetan terurai. Tak jauh dari situ, kami istirahat sejenak makan siang. Saat melanjutkan perjalanan, pemandangan khas alam Aceh yang dulu sering Saya lalui bikin suasana hati sedikit tenang. Ditambah, saat kami menjumpai pos Brimob asal Jambi. Mereka menyapa Kami. “Woi Jambi”. Begitu teriakan yang Saya dengar. Kepala Saya pun keluar jendela membalas sapaan personel Brimob itu. Makin teduh lah suasana hati.
Jelang Magrib, Kami tiba di pusat kota Banda Aceh. Sebelumnya, Saya menelepon Chandra teman semasa SMP. Terakhir bertemu tahun 1995 saat tamat SMA dan Saya pindah ke Jambi. Kami pun janjian bertemu di jembatan Simpang Surabaya yang di bawahnya sungai cukup besar mengalir. Di bawah jembatan ini juga lah ribuan mayat korban Tsunami dulu bertumpukan.
Kisah tragis rupanya menimpa kawan Saya ini. Rumahnya rata disapu air Tsunami. Tak ada keluarganya yang selamat. Ia lolos dari maut karena pagi itu keluar rumah ada keperluan. Sedih rasanya mendengarkan cerita kawan ini. Saat itu, kawan Saya terpaksa menumpang tinggal di rumah calon istrinya di kawasan Krueng Aceh namanya. Krueng dalam bahasa Aceh artinya sungai. Nah, rumah calon sang istrinya tak jauh dari jembatan Simpang Surabaya tadi.
Puas nostalgia sejenak dengan teman, truk meluncur ke kantor Pos Banda Aceh yang hanya berjarak 1 kilometer dari jembatan Simpang Surabaya. Syukurnya, Saya bertemu kepala kantor Pos Banda Aceh. Saya lupa namanya. Kami diterima dengan sangat baik. Setelah membersihkan badan, Kami bercengkrama. Maksud dan tujuan Saya utarakan. Kepala kantor Pos Banda Aceh itu berjanji menemani Saya menyalurkan bantuan esok harinya. Itu karena Saya tidak tahu titik-titik pengungsian berada.
Kami menginap di kantor itu. Ada juga beberapa pegawai Pos ikut menginap. Saat hendak tidur malam, Saya lihat pintu kantor tidak tertutup rapat. Salah seorang pegawai melarang Saya menutup rapat pintu. Saya tentu bertanya. Ia hanya menjawab singkat dan santai sedikit tersenyum. ‘Bentar lagi tau sendiri kok’. Selang 20 menit, bumi terasa berguncang. Gempa. Akhirnya Ia cerita alasan terkait pintu itu. Rupanya, meski hampir sebulan pasca gempa dahsyat dan Tsunami, gempa-gempa kecil masih sering terjadi. ‘Jadi Kita cepat keluar, kalo gempa cukup besar’. Itu kata pegawai tadi. Barulah Saya paham.
Jelang terlelap pun, beberapa kali gempa kecil masih terasa. Ini karena Kami tidur di lantai beralaskan tikar. Jangan-jangan, gempa mengguncang lagi saat terlelap. Entahlah.
Ahhh…tak terbayang mencekamnya saat gempa dahsyat berkekuatan 9,1 magnitudo (skala richter) menggoyang propinsi berjuluk Bumi Serambi Mekkah itu. Seketika Saya teringat gempa 6,7 magnitudo di Kerinci tahun 1995. Goncangan terasa kuat di kota Jambi. Saat itu, kami sekeluarga baru hitungan bulan pindah ke kota Jambi dari Banda Aceh.
Penulis : Rolanda Hasibuan, Pemimpin Redaksi sinarjambi.com








Discussion about this post