Isi berapa. Tanya petugas salah satu SPBU di kota Jambi saat motor Saya isi BBM. Saya jawab singkat. Dua. Petugas itu lanjut bertanya. Dua puluh ribu Rupiah atau dua liter. Saya balik tanya. Apa bedanya dua puluh ribu Rupiah dengan dua liter. Petugas itupun tersenyum.
Ya, bagi Saya ada ‘hikmah’ positif naiknya BBM jenis pertalite bersubsidi menjadi Rp 10.000. Pasalnya, cukup sebut satuan angka jika isi BBM. Berapa pun angka yang disebut, segitulah volume minyak yang akan terisi ke tangki.
Cukup gaduh memang, saat pemerintah mengumumkan BBM bersubsidi itu naik. Hampir semua sektor terdampak. Rentetannya panjang. Tarif angkot, bus dan moda transportasi lainnya naik. Sampai harga kebutuhan pokok mulai terkerek naik. Imbasnya, bisa ditebak. Masyarakat teriak. Demontrasi dimana-mana.
Jika sebelum BBM subsidi naik, motor diisi 3 liter bisa untuk 2 hari. Sekarang tidak lagi. Bahkan, sebagian pengendara motor dengan mobilitas lumayan tinggi, sehari 3 liter ludes. Ini seperti yang Saya lihat postingan teman seprofesi di media sosial. Ia mengeluhkan dalam sehari isi BBM dua kali.
Pikiran singkat Saya, kenapa tidak diproduksi saja kendaraan dengan cubical centimeter (centimeter kubik) alias CC silinder yang kecil. Jadi ada pilihan. Atau, segera masifkan penjualan kendaraan listrik. Khususnya untuk sepeda motor. Saya sadar, ini pikiran singkat nan panik.
Dengan CC yang kecil, sudah barang tentu BBM akan hemat. Toh, kebanyakan motor dipakai di dalam kota yang tidak perlu kecepatan tinggi. Paling rata-rata 50 km/jam.
Saya jadi teringat teman SMA dulu tahun 1993. Ia dibelikan orangtuanya motor dengan 3 ‘gigi’ saja. CC-nya sekitar 86. Kami pun iseng menguji kehematan BBM motor buatan Jepang itu.
Motor itu, ada besi kecil yang melintang di lobang tangki minyaknya. Minyak diisi penuh menyentuh besi itu. Usai menjajal sekitar 20 km, kami berhenti melihat minyak.
Kebetulan, indikator minyak di speedometer rusak. Begitu jok motor dibuka, minyak sedikit menyentuh besi itu. Kami berdua pun tertegun. Hemat sekali. Saat ini, sudah jarang terlihat motor jenis itu wara-wiri di jalanan.
Kini zaman berubah. Motor matic merajai jalanan. Dan secara teknis lebih boros minyak. Bagi sebagian orang, motor matic lebih praktis. Bagaimana dengan motor listrik. Sudah pasti tak perlu BBM. Namun tentu ditawarkan dengan harga yang cukup mahal. Belum lagi ketersediaan infrastruktur pendukungnya belum maksimal.
Tinggal bagaimana pemerintah serius untuk mendorong industri kendaraan listrik cepat dimasifkan. Tidak mudah memang. Tapi kalau tidak dari sekarang, kapan lagi.
Ke depan, Kita tidak bisa menebak harga minyak dunia. Terlebih, cadangan minyak dunia mulai berkurang. Belum lagi, konflik antar negara terus terjadi. Itu semua pengaruhi harga minyak dunia. Saatnya energi terbarukan semakin digaungkan.
Penulis: Rolan
Pemimpin Redaksi sinarjambi.com
Discussion about this post