Innalillahi Wa Innailaihi Roji’un Mas yuyung abdi Telah Berpulang Ke Rahmatullah, Semoga Ditempatkan Yang Terbaik Yang Dirindukan Umat Rosululloh…Aamiin
Pesan singkat di grup WhatsApp yang pernah bekerja di harian pagi Jambi Independent itu mengejutkan Saya. Pesan itu disampaikan Ezi, sejawat Saya saat sama-sama jadi fotografer di koran pertama di Jambi itu.
Yuyung Abdi namanya. Kami biasa menyapa dengan sebutan Mas Yuyung. Pria yang dikenal sebagai fotografer handal koran ternama Jawa Pos itu telah berpulang. Di pemberitaan nasional, almarhum wafat terpapar covid-19. Seorang sosok guru sekaligus mentor fotografi bersahaja itu meninggalkan banyak kesan ke Saya.
Tutur bahasanya lembut. Senyum tak lepas dari bibirnya setiap bicara. Meski berkacamata minus tebal, sorotan tajam matanya setajam hasil jepretannya. Tak usah ditanya sudah berapa penghargaan Ia raih dari hasil karyanya.
Saya berutung sempat mengenal dekat almarhum. Pasalnya, media tempat Saya bekerja dulu grup Jawa Pos. Suatu ketika, Saya “disekolahkan” ilmu fotografi ke Jawa Pos Surabaya. Yuyung Abdi lah gurunya. Jabatannya pun tak main-main. Redaktur fotografer Jawa Pos.
Kesan bersahaja langsung terlihat saat pertama kali Saya bertemu Mas Yuyung di ruang redaksi Jawa Pos yang fenomenal itu. Masih di ruang yang sama pula, Saya dikenalkan Mas Yuyung dengan anak Big Bos Jawa Pos Dahlan Iskan saat itu, Azrul Ananda. “Ini rekan Kita dari Jambi,” ujar Mas Yuyung ke Azrul Ananda mengenalkan Saya ke pria bermata tajam yang saat itu pemimpin redaksi Jawa Pos.
Kenapa Saya bilang Mas Yuyung bersahaja. Pasalnya, Saya diajak menginap di rumahnya. Alhasil, uang menginap di hotel dari kantor pun masuk kantong. Saya lupa di kawasan apa rumahnya. Seingat Saya, cukup dekat dengan pusat kota Surabaya. Dengan mobil Suzuki APV warna silver milknya, Saya pun diajak ke rumahnya. Gang rumahnya sempit. Tak ayal, mobilpun diparkir depan gang. Sepanjang gang, Mas Yuyung menyapa warga yang berpas-pasan dengan Kami.
Tiba di rumah, Saya disapa sang istri almarhum. Teh manis panas dan cemilan pun disuguhkan. Semakin terasa seperti keluarga, karena ternyata istri Mas Yuyung asal Kalimatan. Saya juga berdarah Kalimantan dari nenek ibu Saya. Dan salah satu momen yang berkesan, Saya diajak terapi kaki listrik yang ‘viral’ saat itu. “Mas Rolan kan capek, terbang jauh,” ujar Mas Yuyung. Sungguh pribadi bersahaja.
Malam harinya, Kami berdua berbagi ilmu fotografi. Ia pun tak sungkan memijamkan alat fotografinya yang saat itu paling canggih, kamera merek Canon EOS. Saya lupa tipe kameranya. Lensanya pun nyaris semeter panjangnya.
Pagi hari esoknya, Saya diajak sarapan soto Surabaya. Lokasinya depan kantor Walikota Surabaya. Di perjalanan pulang, Mas Yuyung tanpa sadar mengajarkan Saya seperti apa jiwa dan feeling seorang fotografer. Saat itu, ada momen PSK bertransaksi dengan pria hidung belang. Rupanya, hal itu biasa terjadi di kawasan itu. Mendadak Ia menghentikan laju mobil. Ia pun meminta Saya duduk di kemudi. Tak lama, lensa panjang milknya disenderkan di bahu sebelah kanan Saya. Jepret…jepret…Ia pun mengabadikan aktifitas PSK itu dari kursi belakang sopir. Begitulah Mas Yuyung. Momen menarik tak pernah luput dari klik jarinya.
Di kalangan fotografer Indonesia, Yuyung Abdi memang dikenal sebagai fotografer investigasi dunia prostitusi. Buku fotografi prostitusi hasil jepretannya cukup fenomenal. Yakni “Prostitusi Kisah 60 Daerah di Indonesia” dan “Sex Not For Sale”. Masih banyak buku karyanya. “Lensa Manusia” salah satunya. Dua buku terakhir diberikan ke Saya sebagai “oleh-oleh” sang mentor. Ia pun mengungkapkan penyesalannya karena tak sempat hunting foto di ‘Pucuk’. Ya, lokalisasi prostitusi legendaris di Jambi dulu.
Saya baru ingat. Saat “sekolah” ke Jawa Pos, tak lama setelah peristiwa dahsyat lumpur Lapindo tahun 2006. Mas Yuyung pun langsung mengajak Saya praktek ilmu fotografi di lokasi lumpur Lapindo di Siduarjo. Kebetulan, Mas Yuyung ada tugas mengambil foto.
Disini, Ia kembali mengasah mental Saya. Ya, saat itu kamera Saya ‘hanya’ dibekali lensa pendek. Tak lebih 4 jari panjangnya. Sementara, saat itu banyak fotografer handal dari media nasional berbekal lensa “bambu”. Di Jambi, Kami sering menggunakan istilah bambu bagi kamera berlensa panjang. “Karya bagus bukan dari panjang lensa. Jepret aja, Mas Rolan. Jangan malu,” ujarnya memberi semangat.
Kedekatan kami berlanjut di Jambi. Beberapa tahun kemudian, Saya menggelar workshop fotografi di koran tempat Saya bekerja. Saya lupa tahun berapa. Saya pun mengundang Mas Yuyung menjadi nara sumber utama.
Sebenarnya, perkenalan Kami bisa saja terjadi lebih cepat dari tahun 2006 di Surabaya. Tepatnya peristiwa mahadahsyat gempa dan tsunami Aceh tahun 2004. Kalau tidak salah, Yuyung Abdi ditugaskan kesana. Saya pun ditugaskan pimpinan ke Aceh mengatar bantuan pembaca Jambi Independent untuk korban tsunami. Namun Kami tak sempat bertemu.
Kini, sang fotografer satu-satunya di Indonesia yang bergelar Doktor fotografi jebolan Unair itu berpulang. Selamat jalan guru, mentor sekaligus sahabat. Karyamu abadi.
Penulis : Rolan
Pemimpin Redaksi sinarjambi.com
Discussion about this post