SINARJAMBI.COM – Sudah lebih dari sebulan Edi Mulyono bersama petugas Resort Tebo SKW II BKSDA Jambi, tim Elephant Conservation & Monitoring Unit-Frankfurt Zoological Society (FZS), Forest Programme II (FP II) dan Tim Satgas PT. Wirakarya Sakti (WKS) melakukan pengamatan kepada seekor anak gajah liar di Desa Lubuk Kambing Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan dan 3 ekor gajah di Desa Lubuk Mandarsah Kabupaten Tebo, provinsi Jambi.
Edi Mulyono menyebutkan sebelumnya di awal Januari lalu anak gajah liar betina berumur sekitar 3-4 bulan ini telah berhasil diselamatkan oleh tim satgas Unit Penanganan Konflik Satwa gabungan dari BKSDA Jambi, Pemkab Tanjab Barat, MMK, FZS dan PT.WKS. “Anak gajah malang ini sepertinya sudah lama terlilit jerat karena kulit luarnya sudah mulai menutupi tali tambang. Saya sebagai masyarakat tidak setuju dengan cara petani memasang jerat yang katanya untuk hama babi, tapi nyatanya jerat itu tidak kenal siapa yang akan terjerat dan itu sangat menyakitkan dan menyiksa,” imbau edi dalam wawancaranya, Selasa (9/2) lewat rilis yang disampaikan PT WKS, Jumat (26/2/2021).
Gajah Sumatera yang mempunyai nama ilmiah Elephas maximus sumatranus ini merupakan satwa endemik yang dilindungi di Indonesia dan masuk dalam daftar merah International Union and Conservation Nature (IUCN) sebagai satwa terancam punah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam dokumen Rencana Tindakan Mendesak (RTM) Populasi Gajah Sumatera 2020-2023 memperkirakan saat ini populasi gajah yang masih bertahan di sepanjang Sumatera adalah berkisar jauh dibawah 1694 individu. Kantong gajah di Tebo memiliki jumlah kematian gajah yang lebih tinggi dibandingkan lokasi lain di Provinsi Jambi, terutama karena kondisi kritis beberapa kelompok gajah dan konflik berkepanjangan perebutan ruang dengan manusia.
Edi bersama warga lainnya setelah bergabung dengan MMK baru mengerti betapa pentingnya berbagi ruang secara harmonis dengan satu mahluk megaherbivora ciptaan Tuhan ini. “Kalau petani memanfaatkan kawasan hutan negara tanpa ijin, baik itu dalam hutan produksi maupun kawasan Taman Nasional berarti jangan marah jika gajah masuk ke lahan garapannya, lagi pula gajah tidak akan menyerang manusia disaat tidak merasa terancam,” tambahnya.
Edi Mulyono adalah satu dari warga Desa Muara Kilis yang sejak Juni 2019 lalu bergabung dengan Masyarakat Mitra Konservasi (MMK) dalam binaan BKSDA Jambi. Edi dan perwakilan MMK terpilih lainnya juga telah dikirim ke Tangkahan CRU di Sumatera Utara dan PKG TN Way Kambas di Lampung untuk lebih banyak memahami akan konservasi gajah dan prinsip berbagi ruang.
Hefa Edison Kepala Resort Tebo SKW II BKSDA Jambi menyebutkan bahwa Edi dan semua anggota MMK yang berjumlah 60 orang merupakan masyarakat asli dari 6 desa di bentang alam Bukit Tigapuluh, yaitu Desa Pemayungan, Desa Semambu, Desa Muara Sekalo, Desa Suo Suo Kecamatan Sumay dan Desa Muara Kilis, Desa Lubuk Mandarsah Kecamatan Tengah Ilir, Provinsi Jambi. “Pastinya, keterlibatan MMK ini sudah tentu sangat membantu kegiatan mitigasi konflik dengan gajah maupun dengan harimau dan beruang madu, dan semua nya ini tidak terlepas dari kata kunci Negara hadir di tengah-tengah masyarakat,” tutur Hefa saat dikonfirmasi via WA pada Rabu (10/2).
Hefa juga menambahkan Edi dan personel MMK secara mandiri sudah terlatih melakukan patroli dan monitoring gajah, awareness dan berkoordinasi dengan tokoh masyarakat serta manajerial PT. WKS serta perusahaan lainnya di bentang alam Bukit Tigapuluh, Jambi. “Terbukti saat ini petani yang lokasi kebunnya berada di areal perlintasan gajah maupun sekitarnya sudah mulai merobah pola tanam dari tanaman , seperti pinang, kopi dan karet , jeruk walau pun di makan gajah tetapi tidak terlalu di sukai oleh gajah,” terang Hefa.
Pemerintah dan mitra terus gencar dalam upaya pelestarian gajah di bentang alam Bukit Tigapuluh, dan dalam 2 tahun ini melalui berbagai deklarasi penyelamatan gajah pada 5 Desember 2018 oleh Pemerintah Pusat dan Daerah, TNI/POLRI, perguruan tinggi, mitra konservasi dan masyarakat serta serial meeting pembentukan Forum Kolaborasi dan penyusunan draft rencana aksi pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor hidupan liar di bentang alam Bukit Tigapuluh. Akhirnya pada 9 Juli 2020 Bupati Tebo Dr. H. Sukandar, S. Kom., M. Si bersama BKSDA Jambi dan pemangku kepentingan utama setempat beserta perusahaan seperti PT. WKS dan perusahaan lainnya serta lembaga konservasi yaitu FZS, FP II, YKSLI serta masyarakat desa setempat mendeklarasikan terbentuknya Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (Forum KEE) melalui keputusan Gubernur Jambi Nomor .177/KEP.GUB/DISHUT-3.3/2020 yang ditindaklanjuti lagi dengan pembahasan rencana kegiatan tahun 2021 pada 10 Februari 2021 yang dihadiri oleh seluruh anggota Forum KEE yang salah satu kesepakatannya adalah pembangunan Pusat Informasi dan Konservasi gajah (PIKG), pembangunan pagar listrik kejut (electric fence) sepanjang 30 km dengan model pemberdayaan masyarakat serta integrated patrol.
Guna mendapatkan sudut pandang holistic, penulis melakukan wawancara kepada Syamsuardi, seorang pakar yang sudah lebih dari 30 tahun mencicipi pahit asinnya mitigasi konflik antara manusia dan gajah sumatera. Syamsuardi merupakan anggota aktif dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) sekaligus ketua Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa (PJHS) yang baru saja selesai memberikan pelatihan mitigasi konflik dengan gajah sumatera kepada Tim Satgas APP Sinarmas region OKI serta Mahout di Resort SKW XV PLG Jalur 21 BKSDA Sumatera Selatan.
Saat diwawancara, Syamsuardi selalu menitikberatkan akan prinsip berbagi ruang antara aktivitas manusia dengan hidupan gajah di alam. “Masyarakat hukum adat ini baik masyarakat Melayu dari desa setempat, Talang Mamak Simerantihan dan Orang Rimba sangat paham akan kearifan lokal. Mereka tau persis bagaimana harus menghormati keberadaan gajah di alam dan memiliki hubungan spiritual dengan hutan Bukit Tigapuluh yang dihuni sedikitnya 300 ekor gajah liar,” terang Syamsuardi.
Syamsuardi menyebutkan sejak beberapa tahun lalu banyak pendatang dari luar desa penyangga Bukit Tigapuluh yang membuka lahan garapan baru tanpa ijin di dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung maupun Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Tanaman pioneer, sawit maupun karet muda di bukaan lahan baru dalam kawasan hutan terutama yang dekat dengan sumber air akan menjadi destinasi terfavorit baru bagi satwa gajah dan kawanannya. “Jika gajah sudah masuk ke lahan garapan ilegal ini, maka sudah dipastikan statusnya adalah bukan konflik, dan pendekatannya adalah penegakan hukum. Hal ini pun semakin memperjelas bahwa tidak boleh ada aktivitas perambahan di lokasi tersebut,” tegasnya. Syamsuardi juga menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membuka lahan garapan baru di areal perlintasan gajah sehingga tanaman perkebunannya tidak terinjak-injak ataupun dimakan gajah.
Hal ini juga diamini oleh Aswar Hadhibina Nasution petugas medis satwa yang beberapa kali sigap mengantar beberapa ekor gajah jinak dari Riau saat membantu evakuasi gajah liar di bentang alam Bukit Tigapuluh, Jambi. “Terkadang beberapa petani pendatang yang notabene-nya adalah perambah sambil melotot selalu melontarkan ancaman verbal yang dapat membahayakan keselamatan gajah yang masuk ke lahan rambahannya. Guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sangat arif jika MMK, peneliti dan perusahaan setempat membuat catatan kronologi yang diteruskan BKSDA Jambi dan Balai Gakkum Seksi Wilayah II Mako Jambi,“ timpalnya
Terkait dengan penyelesaian konflik tenurial antara masyarakat dengan perusahaan yang mayoritasnya adalah bukan penduduk setempat sekaligus mengurangi interaksi negative mereka para penggarap dengan gajah liar, ada satu konsep menarik yang diterapkan oleh Sakimin dan Tim Forest Protection Head PT. Tebo Multi Agro (TMA) yang dapat diadopsi oleh perusahaan lainnya, yaitu system HTPK (Hutan Tanaman Pola Kemitraan). “Fokus kemitraan ini adalah melalui kesepakatan antara perusahaan sebagai pemegang ijin konsesi dengan masyarakat yang berada di areal okupasi, dengan pola 70% dari luasan areal okupasi tersebut dijadikan HPTK dan 30% areal okupasinya akan dibina oleh perusahaan sebagai lahan pertanian yang ramah dengan konservasi gajah dan lingkungan,” terang Sakimin.
Ada satu pandangan menarik yang sering tak lupa disampaikan Ir. Wiratno, M.Sc, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Kementerian LHK disetiap memberikan presentasi kepada konservasionis muda maupun acara diskusi interaktif dengan tema konservasi alam. Beliau selalu mengingatkan akan pentingnya kolaborasi lintas batas, salah satunya melalui 3M Kolaborasi, yaitu Mutual Respect, Mutual Trust dan Mutual Benefit. “Kita tidak bisa bekerja sendiri, harus multipihak dan membangun collective awareness untuk terjadinya collective action di tingkat komunitas dan masyarakat yang lebih luas,” papar Wiratno pada 27 Januari 2021 lalu.
Nor Qomariyah Forum Facilitator dari PKBT (Platform Kolaborasi Bukit Tigapuluh) sekaligus Project Officer KKI Warsi memiliki pandangan menarik juga terkait interaksi penggarap lahan dan gajah. “Pada dasarnya ini juga harus dilihat dari pandangan, persepsi masyarakat melihat gajah dan habitatnya, lalu kesesuaian tanamannya, seperti tanaman padi, pisang, bahkan karet usia mudapun sangat disukai gajah. Tanaman karet mereka (Gajah-red) gunakan untuk penggaraman,“ tutur Nor Qomariyah yang akrab disapa Qoqom. Ditambahkan qoqom bahwa harus ada tanaman alternatif yang bernilai ekonomi tinggi sebagai tanaman pengganti komoditi yangg mereka tanam seperti kopi, lemon, coklat ini tidak disukai gajah.
“Selain itu juga harus dipetakan karakteristik sosial-ekonomi-masyarakat yang ada di sekitar area habitat gajah. Di kawasan TN Bukit Tigapuluh dan areal penyangganya sendiri kita lihat justru koridornya mulai rusak, tidak pada semestinya dan gajah justru berada pada area hutan tanaman dan hutan produksi lainnya. Menariknya ini tentu memerlukan sinergi berbagai pihak dan dukungan dari berbagai stakeholder,” tambahnya.
Qoqom memberikan saran solusi akan upaya yang bisa kita lakukan bersama adalah: 1) Social mapping mulai dari karakteristik, ekonomi, sosial, sejarah keberadaan atau tipologi keterkaitan antara manusia/masyarakat yang ada dalam koridor habitat gajah, 2) Persepsi dan pengetahuan masyarakat tentang gajah dan komoditi pertanian, 3) pemahaman terhadap jalur koridor, 4) pengetahuan tentang mitigasi dan bagaimana memitigasi gajah sesuai dengan koridor melalui kesepakatan bersama antar pihak, 5) memetakan area-area penting dimana letak atau lokasi penempatan gajah (tempat penggiringan), area perkebunan, pemukiman hingga area pertemuan antara gajah dan manusia 6) alternatif ekonomi melalui pertanian yang sustainable menjadi sangat penting dan masyarakat juga harus diedukasi untuk mengalokasikan tanaman pangan bagi si gajah, satwa mahluk ciptaan Tuhan.
“So sama-sama hidup berdampingan dengan damai, gajah punya rumah, punya tempat makan, punya tempat main dan manusia sebagai petani juga bisa menanam tanaman dengan aman dan sustainable,” tutupnya. (*)
Discussion about this post