SINARJAMBI.COM – Guna menuntaskan penanganan pemboran sumur ilegal baik yang berada di dalam wilayah kerja maupun di luar wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas). Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya tim gabungan lintas sektoral.
Tim gabungan tersebut dibentuk agar kegiatan dapat dilakukan secara sistematis dan terkoordinasi dengan baik, dibutuhkan payung hukum untuk mengatur kegiatan yang akan dilakukan.
Asisten Deputi II (Bidang Kamtibmas) Kemenko Polhukam Brigjen Pol Dr. Eriadi S.H, M.Si di Jakarta, Selasa (9/3) mengatakan, perkembangan kegiatan pemboran sumur ilegal hulu migas mencemaskan karena selama tiga tahun terakhir, jumlahnya semakin meningkat. Pendataan yang dilakukan di Kemenko Polhukam menunjukkan pada tahun 2018 terdata 137 kegiatan, kemudian pada tahun 2019 menjadi 195 kegiatan, dan pada tahun 2020 meningkat kembali menjadi 314 kegiatan. Terdapat 8 (delapan) provinsi yang selama ini menjadi titik-titik utama kegiatan ilegal yaitu Aceh, Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Timur, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Selama ini telah dilakukan penindakan aparat dan telah ditetapkan sejumlah tersangka. Kami mencatat pada tahun 2018 ditetapkan 168 tersangka, kemudian di tahun 2019 ditetapkan 248 tersangka, dan pada tahun 2020 ditetapkan 386 tersangka. Namun demikian di lapangan kita melihat kegiatan masih saja meningkat. Untuk itu kita harus merubah strategi penanganannya,” kata Eriadi.
Tim gabungan dimaksudkan untuk mendorong agar para pelaku kegiatan ilegal itu kemudian melakukan kegiatan legal sesuai kaidah yang berlaku pada UU No 22/2001 tentang Migas. Untuk lebih merinci mekanisme pelaksanaannya, maka dibutuhkan Peraturan Presiden yang mengatur pembentukan tim gabungan lintas sektoral baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu juga dibutuhkan Peraturan Menteri ESDM untuk mendorong penegakan hukum di lapangan, dengan memperhatikan aspek lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja, serta tidak merugikan keuangan negara.
Koordinasi Penanganan Sumur Ilegal di Provinsi Jambi
Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Jambi, Irjen Pol Rachmat Wibowo pada Sabtu (6/3) menggelar rapat koordinasi terkait pemboran sumur ilegal di Provinsi Jambi bersama SKK Migas, Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) wilayah Jambi, Pemerintah Daerah Kabupaten Batang Hari, Pemerintah Daerah Kabupaten Muaro Jambi, Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun, Korem 042 Jambi, Kejaksaan Tinggi Provinsi Jambi, dan Dinas ESDM Provinsi Jambi.
Dalam pertemuan itu Rachmat menyampaikan keprihatinannya terhadap maraknya aktivitas pemboran sumur ilegal di Provinsi Jambi serta mendukung pula lahirnya Perpres dan Permen untuk mengatasi permasalahan sumur ilegal. Perpres ini diusulkan memiliki ranah kegiatan dari hulu hingga hilir, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menuntaskan kegiatan penegakan hukum di lapangan.
“Saya prihatin karena kegiatan ilegal ini sepertinya sudah dijadikan mata pencaharian sehari-hari bagi sebagian warga ini tidak boleh dibiarkan. Agar jumlahnya tidak semakin meningkat, maka perlu terobosan agar warga tidak kehilangan pekerjaan tetapi kegiatan yang dikatagorikan ilegal dapat dihentikan,” kata Rachmat.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Perwakilan SKK Migas Sumatera Bagian Selatan Adiyanto Agus Handoyo turut mendukung kebijakan pembuatan aturan mengenai kegiatan illegal drilling tersebut.
“Kami berharap aturan ini segera terbentuk sehingga isu pengeboran dan pencurian minyak yang terus mengemuka selama ini dapat dicarikan solusi penyelesaiannya. Karena selain dapat mengganggu kegiatan operasi hulu migas, kegiatan tersebut juga memberikan dampak buruk terhadap lingkungan sekitar,” ujar Adiyanto.
Masing-masing pimpinan daerah tingkat Kabupaten yang mengikuti rapat tersebut juga menyampaikan harapan yang sama agar peraturan yang dibutuhkan dapat segera diterbitkan, sehingga dapat menjadi solusi yang terbaik bagi semua pihak.
Saat ini, aktivitas sumur ilegal di Jambi diperkirakan mencapai 2.000 sampai 3.000 sumur yang tersebar di kawasan hutan maupun luar kawasan hutan, dengan potensi serapan pekerja hingga 50.000 orang. (*)
Discussion about this post